Senin, 26 Agustus 2013

”Ah, Tidak Mungkin!”


Bila orang yg kita kasihi meninggal ?
Bab 1.



 

SEORANG pria dari New York (AS) menceritakan, ”Putra saya, Jonathan, sedang mengunjungi teman-temannya yang beberapa kilometer jauhnya. Istri saya, Valentina, tidak senang ia pergi ke sana. Ia selalu was-was dengan kondisi lalu lintas. Tetapi Jonathan menyukai elektronik, dan teman-temannya memiliki sebuah bengkel kerja tempat ia dapat memperoleh pengalaman yang berguna. Saya sedang berada di rumah di Manhattan barat, New York. Istri saya sedang pergi mengunjungi keluarganya di Puerto Rico. ’Jonathan akan segera pulang,’ pikir saya. Kemudian bel pintu berbunyi. ’Itu pasti dia.’ Rupanya bukan. Ternyata polisi dan tim paramedik. ’Apakah Anda mengenali SIM ini?’ tanya petugas polisi. ’Ya, itu milik putra saya, Jonathan.’ ’Ada berita buruk untuk Bapak. Baru saja terjadi kecelakaan, dan . . . putra Bapak, . . . putra Bapak meninggal.’ Reaksi pertama saya, ’Ah, tidak mungkin!’ Kejutan yang ditimbulkannya telah membuat luka dalam hati kami, yang bahkan bertahun-tahun kemudian belum juga pulih.”

Seorang ayah di Barcelona (Spanyol) menulis, ”Dahulu di Spanyol pada tahun 1960-an, kami adalah keluarga yang bahagia. Ada María, istri saya, dan ketiga anak kami, David, Paquito, dan Isabel, berusia 13, 11, dan 9 tahun.

”Suatu hari pada bulan Maret 1963, Paquito pulang ke rumah dari sekolah mengeluh sakit kepala yang sangat hebat. Kami bingung apa penyebabnya—namun hanya sebentar saja. Tiga jam kemudian ia meninggal. Pendarahan otak tiba-tiba merenggut nyawanya.

”Kematian Paquito terjadi lebih dari 30 tahun yang lalu. Meskipun demikian, perasaan sakit yang dalam akibat kematian tersebut membekas dalam diri kami sampai hari ini. Mana ada orang-tua yang ditinggal mati seorang anak, tidak merasakan sesuatu yang hilang dari diri mereka—tidak soal seberapa banyak waktu yang telah berlalu atau seberapa banyak anak yang mereka miliki.”

Dua pengalaman ini, ketika orang-tua kehilangan anak-anak, memperlihatkan betapa dalam dan lamanya luka yang timbul sewaktu seorang anak meninggal. Benar sekali pernyataan seorang doktor yang menulis, ”Kematian seorang anak biasanya lebih tragis dan mengakibatkan trauma dibandingkan kematian seorang yang lebih tua karena seorang anak bukanlah anggota keluarga yang diharapkan mati. . . . Kematian seorang anak memperlihatkan pupusnya impian di masa depan, hubungan keluarga [menantu, cucu-cucu], pengalaman-pengalaman . . . yang belum sempat dinikmati.” Dan perasaan kehilangan yang dalam ini juga dapat terjadi atas seorang wanita yang kehilangan bayinya karena keguguran.

Seorang istri yang berkabung menjelaskan, ”Suami saya, Russell, bekerja sebagai seorang tenaga bantuan medis dalam medan perang di Pasifik selama Perang Dunia II. Ia telah menyaksikan dan luput dari beberapa pertempuran yang mengerikan. Ia kembali ke Amerika Serikat dan kembali kepada kehidupan yang jauh lebih tenang. Belakangan ia melayani sebagai seorang rohaniwan Firman Allah. Pada usia 60-an, ia mulai mengalami gejala penyakit jantung. Ia berupaya menjalani kehidupan yang aktif. Kemudian, suatu hari pada bulan Juli 1988, ia menderita serangan jantung yang parah dan meninggal. Kepergiannya sangat memilukan hati. Saya bahkan tidak sempat mengucapkan selamat jalan. Ia bukan hanya suami saya. Ia adalah sahabat terbaik saya. Kami telah menempuh kehidupan bersama-sama selama 40 tahun. Sekarang tampaknya saya harus menghadapi kesepian yang lain daripada yang lain.”

Ini hanyalah sedikit dari ribuan tragedi yang menimpa keluarga-keluarga di seluruh dunia setiap hari. Seperti yang akan dikatakan oleh kebanyakan orang yang berduka cita, sewaktu kematian merenggut anak Anda, suami Anda, istri Anda, orang-tua Anda, teman Anda, benar sekali apa yang dikatakan Paulus sang penulis Kristen bahwa itu adalah ”musuh yang terakhir”. Sering kali, reaksi pertama yang wajar atas berita menyedihkan ini mungkin berupa penyangkalan. ”Ah, tidak mungkin! Saya tidak percaya.” Reaksi-reaksi lain sering kali menyusul, seperti yang akan kita lihat.—1 Korintus 15:25, 26.

Akan tetapi, sebelum kita membahas perasaan duka cita, marilah kita menjawab beberapa pertanyaan penting. Apakah kematian berarti akhir dari orang itu? Apakah ada harapan bahwa kita dapat berjumpa kembali dengan orang-orang yang kita kasihi?

Ada Harapan yang Sejati

Paulus penulis Alkitab menawarkan harapan berupa kelegaan dari ”musuh yang terakhir” tersebut, kematian. Ia menulis, ’Maut akan dibinasakan’. ”Musuh yang terakhir yang akan ditiadakan adalah maut.” (1 Korintus 15:26, The New English Bible) Mengapa Paulus dapat merasa begitu yakin akan hal tersebut? Karena ia telah diajar oleh pribadi yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, Yesus Kristus. (Kisah 9:3-19) Itu pula alasannya mengapa Paulus dapat menulis, ”Sama seperti maut datang karena satu orang manusia [Adam], demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia [Yesus Kristus]. Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.”—1 Korintus 15:21, 22.

Yesus sangat berduka cita sewaktu ia bertemu dengan seorang janda dari Nain dan melihat putranya yang meninggal. Catatan Alkitab memberi tahu kita, ”Setelah [Yesus] dekat pintu gerbang kota [Nain], ada orang mati diusung ke luar, anak laki-laki, anak tunggal ibunya yang sudah janda, dan banyak orang dari kota itu menyertai janda itu. Dan ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia berkata kepadanya: ’Jangan menangis!’ Sambil menghampiri usungan itu Ia menyentuhnya, dan sedang para pengusung berhenti, Ia berkata, ’Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah!’ Maka bangunlah orang itu dan duduk dan mulai berkata-kata, dan Yesus menyerahkannya kepada ibunya. Semua orang itu ketakutan dan mereka memuliakan Allah, sambil berkata: ’Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita,’ dan ’Allah telah melawat umatNya.’” Perhatikan bagaimana Yesus tergerak oleh belas kasihan, sehingga ia membangkitkan putra janda tersebut! Bayangkan apa yang diperlihatkan oleh hal tersebut berkenaan masa depan!—Lukas 7:12-16.

Di sana, di hadapan para saksi mata, Yesus mempertunjukkan sebuah kebangkitan yang tak terlupakan. Hal itu merupakan suatu jaminan akan kebangkitan yang telah ia nubuatkan beberapa waktu sebelum peristiwa ini, suatu kebangkitan kepada kehidupan di bumi di bawah ”langit yang baru”. Pada kesempatan itu Yesus berkata, ”Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan . . . akan keluar.”—Wahyu 21:1, 3, 4; Yohanes 5:28, 29; 2 Petrus 3:13.

Saksi-saksi mata lain dari suatu kebangkitan adalah Petrus, bersama beberapa orang lainnya dari antara ke-12 yang menyertai Yesus dalam perjalanannya. Mereka benar-benar mendengar Yesus yang telah dibangkitkan berbicara di Laut Galilea. Catatannya memberi tahu kita, ”Kata Yesus kepada mereka: ’Marilah dan sarapanlah.’ Tidak ada di antara murid-murid itu yang berani bertanya kepada-Nya: ’Siapakah Engkau?’ Sebab mereka tahu, bahwa Ia adalah Tuhan. Yesus maju ke depan, mengambil roti dan memberikannya kepada mereka, demikian juga ikan itu. Itulah ketiga kalinya Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya sesudah Ia bangkit dari antara orang mati.”—Yohanes 21:12-14.

Oleh karena itu, Petrus dapat menulis dengan sangat yakin, ”Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan.”—1 Petrus 1:3.

Rasul Paulus menyatakan harapannya yang pasti sewaktu ia berkata, ”Aku percaya kepada segala sesuatu yang ada tertulis dalam hukum Taurat dan dalam kitab nabi-nabi. Aku menaruh pengharapan kepada Allah, sama seperti mereka juga, bahwa akan ada kebangkitan semua orang mati, baik orang-orang yang benar maupun orang-orang yang tidak benar.”—Kisah 24:14, 15.

Oleh karena itu, jutaan orang dapat memiliki harapan yang teguh untuk berjumpa dengan orang-orang yang mereka kasihi yang hidup kembali di bumi ini namun di bawah keadaan-keadaan yang sangat berbeda. Keadaan-keadaan yang bagaimana kelak? Perincian-perincian selanjutnya berkenaan harapan yang berdasarkan Alkitab bagi orang-orang yang kita kasihi yang telah meninggal akan dibahas dalam bagian terakhir dari brosur ini, dengan judul, ”Harapan yang Pasti Bagi Orang Mati”.

Namun, pertama-tama mari kita pertimbangkan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin Anda miliki jika Anda sedang berduka cita karena kehilangan seseorang yang dikasihi: Apakah normal untuk berduka cita seperti ini? Bagaimana saya dapat mengatasi duka cita saya? Apa yang dapat orang-orang lain lakukan untuk membantu saya mengatasinya? Bagaimana saya dapat membantu orang lain yang berduka cita? Dan yang terutama, Apa yang Alkitab katakan berkenaan harapan yang pasti bagi orang mati? Apakah saya akan berjumpa kembali dengan orang-orang yang saya kasihi? Dan di mana?
Pertanyaan untuk Direnungkan
Apa reaksi yang wajar terhadap kematian seseorang yang dikasihi?
Apa yang Yesus lakukan bagi seorang janda di Nain?
Janji apa berkenaan orang mati diberikan Yesus?
Mengapa Petrus dan Paulus dapat merasa begitu yakin bahwa akan ada kebangkitan?
Pertanyaan-pertanyaan apa perlu mendapat jawaban?

[Blurb di hlm. 4]

’Ada berita buruk untuk Bapak. Baru saja terjadi kecelakaan, dan . . . putra Bapak, . . . putra Bapak meninggal.’
 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar