Jumat, 23 Agustus 2013

Gagasan Itu Memasuki Agama-Agama Timur..bab 3


 

”Saya selalu berpikir bahwa jiwa yang tidak berkematian adalah kebenaran universal yang diterima oleh semua orang. Jadi, saya benar-benar terkejut sewaktu mengetahui bahwa beberapa cendekiawan dari Timur maupun Barat dengan tegas membantah kepercayaan itu. Sekarang, saya bertanya-tanya bagaimana gagasan tentang peri tidak berkematian dapat masuk ke dalam pemikiran Hindu.”—SEORANG MAHASISWA UNIVERSITAS YANG DIBESARKAN DALAM AGAMA HINDU.

BAGAIMANA gagasan bahwa manusia memiliki jiwa yang tidak berkematian memasuki Hinduisme dan agama-agama Timur lainnya? Pertanyaan tersebut menarik bahkan bagi orang-orang di Barat yang mungkin tidak begitu mengenal agama-agama ini, karena kepercayaan tersebut mempengaruhi pandangan setiap orang mengenai masa depan. Karena ajaran tentang jiwa manusia yang tidak berkematian adalah tema umum dalam sebagian besar agama dewasa ini, kita dapat memiliki pemahaman dan komunikasi yang lebih baik bila kita mengetahui bagaimana konsep itu berkembang.

2 Ninian Smart, seorang profesor bidang studi keagamaan di University of Lancaster, Inggris, mengamati, ”Pusat agama yang paling berpengaruh di Asia adalah India. Bukan saja karena India sendiri telah melahirkan sejumlah kepercayaan—Hinduisme, Buddhisme, Jainisme, Sikhisme, dll.—tetapi karena salah satu dari agama-agama ini, yakni Buddhisme, telah sangat berpengaruh terhadap kebudayaan di hampir seluruh Asia Timur.” Banyak kebudayaan yang dipengaruhi dengan cara ini ”masih menganggap India sebagai kampung halaman rohani mereka”, kata sarjana Hindu, Nikhilananda. Kalau begitu, bagaimana ajaran tentang peri tidak berkematian ini memasuki India dan bagian-bagian lain di Asia?

Ajaran Reinkarnasi Hinduisme

3 Pada abad keenam SM, sewaktu Pythagoras dan para pengikutnya di Yunani sedang menjunjung teori perpindahan jiwa, para cendekiawan Hindu yang tinggal di sepanjang tepi Sungai Indus dan Sungai Gangga di India sedang mengembangkan konsep yang sama. Munculnya kepercayaan ini secara bersamaan ”di dunia Yunani dan di India kemungkinan besar bukan suatu kebetulan”, kata sejarawan Arnold Toynbee. ”Satu hal yang mungkin menjadi sumber yang sama dari [pengaruh] ini,” Toynbee menandaskan, ”adalah masyarakat pengembara Eurasia, yang, pada abad ke-8 dan ke-7 SM, telah turun ke India, Asia Barat Daya, kawasan stepa di sepanjang pesisir utara Laut Hitam, dan Semenanjung Balkan serta Semenanjung Anatolia.” Suku-suku Eurasia yang bermigrasi itu tampaknya membawa serta gagasan perpindahan tersebut ke India.

4 Hinduisme telah dimulai di India jauh lebih awal, dengan tibanya suku Arya sekitar tahun 1500 SM. Sejak semula, Hinduisme berpegang pada kepercayaan bahwa jiwa berbeda dari tubuh dan bahwa jiwa terus hidup setelah kematian. Oleh karena itu, orang Hindu mempraktekkan penyembahan leluhur dan mempersembahkan makanan untuk disantap oleh jiwa-jiwa orang mati. Berabad-abad kemudian sewaktu gagasan perpindahan jiwa mencapai India, ini pasti menarik perhatian para cendekiawan Hindu yang sedang bergelut dengan problem universal mengenai malapetaka dan penderitaan di antara manusia. Menggabungkan gagasan ini dengan apa yang disebut hukum Karma, yaitu hukum sebab akibat, para cendekiawan Hindu mengembangkan teori reinkarnasi, bahwa kebaikan dan kesalahan dalam kehidupan seseorang mendapat upah atau hukuman dalam kehidupan berikutnya.

5 Tetapi, ada satu konsep lain yang mempengaruhi ajaran Hinduisme mengenai jiwa. ”Agaknya benar bahwa pada saat yang sama sewaktu teori perpindahan dan karma terbentuk, atau bahkan lebih awal lagi,” kata Encyclopædia of Religion and Ethics, ”konsep lain . . . lambat laun berkembang dalam sebuah lingkungan intelektual yang kecil di India Utara—konsep filsafat Brahmana-Ātman [Brahmana yang tertinggi dan kekal, realitas akhir].” Gagasan ini digabungkan dengan teori reinkarnasi untuk mendefinisikan tujuan akhir orang Hindu—pembebasan dari siklus perpindahan guna menyatu dengan realitas akhir. Orang Hindu percaya bahwa hal ini dicapai dengan mengupayakan perilaku yang diterima masyarakat dan pengetahuan Hindu yang khusus.

6 Dengan demikian, kaum arif Hindu memasukkan gagasan perpindahan jiwa ke dalam doktrin reinkarnasi dengan menggabungkannya bersama hukum Karma dan konsep Brahmana. Octavio Paz, seorang penyair pemenang Hadiah Nobel dan mantan duta besar Meksiko di India, menulis, ”Seraya Hinduisme menyebar, demikian pula gagasan . . . yang menjadi poros dari Brahmanaisme, Buddhisme, dan agama-agama Asia lainnya: metempsychosis, yaitu perpindahan jiwa dari satu eksistensi ke eksistensi berikutnya.”

7 Doktrin reinkarnasi adalah penopang utama Hinduisme dewasa ini. Filsuf Hindu, Nikhilananda, mengatakan, ”Sudah merupakan keyakinan setiap orang Hindu yang saleh bahwa pencapaian peri tidak berkematian bukanlah hak istimewa dari segelintir orang terpilih, melainkan hak yang diwarisi semua orang.”

Siklus Kelahiran Kembali dalam Buddhisme

8 Buddhisme didirikan di India sekitar tahun 500 SM. Menurut tradisi Buddha, seorang pangeran India bernama Siddhārtha Gautama, yang kemudian dikenal sebagai Buddha setelah menerima pencerahan, mendirikan Buddhisme. Karena muncul dari Hinduisme, ajaran-ajarannya dalam beberapa hal mirip dengan ajaran-ajaran Hinduisme. Menurut Buddhisme, eksistensi adalah siklus kelahiran kembali dan kematian secara berkesinambungan, dan seperti dalam Hinduisme, status tiap-tiap individu dalam kehidupannya sekarang ditentukan oleh perbuatan dalam kehidupan sebelumnya.

9 Tetapi, Buddhisme tidak menjelaskan eksistensi sebagai jiwa yang berkepribadian yang terus hidup setelah kematian. ”[Buddha] menganggap diri manusia hanya sebagai serangkaian tahap-tahap psikologis yang tidak berkesinambungan dan beralih dengan cepat, yang diikat hanya oleh hasrat,” demikian menurut pengamatan Arnold Toynbee. Namun, Buddha percaya bahwa sesuatu—suatu tahap psikologis atau kekuatan—diteruskan dari satu kehidupan ke kehidupan lain. Dr. Walpola Rahula, seorang sarjana Buddhis, menjelaskan:

10 ”Suatu makhluk hanyalah perpaduan antara kekuatan atau energi fisik dan mental. Apa yang kita sebut kematian adalah berhentinya semua fungsi tubuh secara fisik. Apakah semua kekuatan dan energi ini berhenti sama sekali sewaktu tubuh berhenti berfungsi? Buddhisme mengatakan ’Tidak’. Kehendak, kemauan, hasrat, atau kegairahan untuk tetap ada, untuk terus hidup, untuk terus menjadi ada dan ada kembali, adalah kekuatan hebat yang menggerakkan segenap kehidupan, segenap eksistensi, yang bahkan menggerakkan seluruh dunia. Inilah kekuatan terbesar, energi terbesar di dunia. Menurut Buddhisme, kekuatan ini tidak berhenti sewaktu tubuh berhenti berfungsi, atau mati; tetapi kekuatan ini terus memanifestasikan dirinya dalam bentuk lain, menghasilkan eksistensi kembali yang disebut kelahiran kembali.”

11 Pandangan Buddhis mengenai kehidupan setelah kematian adalah: Eksistensi bersifat abadi kecuali individu tersebut mencapai tujuan akhir berupa Nirwana, pembebasan dari siklus kelahiran kembali. Nirwana bukanlah keadaan penuh kebahagiaan kekal ataupun keadaan menyatu dengan realitas akhir. Itu hanyalah keadaan tanpa eksistensi—”tempat tanpa kematian” yang melampaui eksistensi individu. Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary mendefinisikan ”Nirwana” sebagai ”suatu tempat atau keadaan yang tidak mengenal kekhawatiran, rasa sakit, atau kenyataan lahiriah”. Sebaliknya daripada mencari peri tidak berkematian, orang Buddhis dianjurkan untuk melampauinya dengan mencapai Nirwana.

12 Seraya menyebar ke berbagai tempat di Asia, Buddhisme memodifikasi ajaran-ajarannya untuk menyesuaikan diri dengan kepercayaan-kepercayaan setempat. Misalnya, Buddhisme Mahayana, aliran yang dominan di Cina dan Jepang, percaya akan bodhisatwa-bodhisatwa langit, atau para calon Buddha. Para bodhisatwa menunda memasuki Nirwana agar mereka mengalami tak terhitung banyaknya kelahiran kembali guna melayani dan membantu orang-orang lain mencapai Nirwana. Jadi, seseorang dapat memilih untuk terus berada dalam siklus kelahiran kembali bahkan setelah mencapai Nirwana.

13 Penyesuaian lain yang khususnya berpengaruh di Cina dan Jepang adalah doktrin Negeri Murni di Barat, yang diciptakan oleh Buddha Amitabha, atau Amida. Orang-orang yang dengan iman menyebut nama Buddha akan dilahirkan kembali di Negeri Murni, atau firdaus, yang kondisinya lebih menunjang untuk mencapai pencerahan akhir. Apa yang telah berkembang dari ajaran ini? Profesor Smart, yang disebutkan sebelumnya, menjelaskan, ”Bukanlah hal yang aneh bila kesemarakan firdaus, yang dilukiskan secara hidup dalam kitab-kitab Mahayana, akhirnya menggantikan nirwana dalam imajinasi kebanyakan orang sebagai tujuan tertinggi.”

14 Buddhisme Tibet memadukan unsur-unsur setempat lainnya. Sebagai contoh, buku tentang orang mati dari Tibet melukiskan nasib seseorang dalam tahapan perantara sebelum dilahirkan kembali. Orang mati konon akan disinari dengan cahaya realitas akhir yang sangat terang, dan orang-orang yang tidak tahan dengan cahaya itu tidak akan memperoleh pembebasan tetapi dilahirkan kembali. Jelaslah, Buddhisme dengan berbagai alirannya menyampaikan gagasan peri tidak berkematian.

Penyembahan Leluhur dalam Shinto Jepang

15 Agama sudah ada di Jepang sebelum tibanya Buddhisme pada abad keenam Masehi. Agama itu tidak memiliki nama, dan terdiri dari kepercayaan-kepercayaan yang berkaitan dengan moral dan kebiasaan orang-orang. Akan tetapi, sewaktu Buddhisme diperkenalkan, timbul kebutuhan untuk membedakan agama Jepang dari agama asing. Maka, muncullah nama ”Shinto”, yang berarti ”jalan para dewa”.

16 Apa yang semula dipercayai oleh Shinto mengenai kehidupan setelah kematian? Dengan diperkenalkannya penanaman padi di tanah yang basah, ”pertanian tanah basah mengharuskan adanya masyarakat yang diorganisasi dengan baik dan stabil”, ulas Kodansha Encyclopedia of Japan, ”dan upacara-upacara pertanian—yang belakangan memainkan peranan yang begitu penting dalam Shintō—dikembangkan”. Rasa takut akan jiwa-jiwa yang telah meninggal menyebabkan orang-orang zaman purba ini merancang berbagai upacara guna menenangkan jiwa-jiwa tersebut. Ini berkembang menjadi penyembahan roh-roh leluhur.

17 Menurut kepercayaan Shinto, jiwa yang ”meninggal” masih memiliki kepribadiannya tetapi tercemar karena kematian. Apabila keluarga yang ditinggalkan mengadakan upacara-upacara demi orang mati itu, jiwanya akan disucikan hingga bebas dari segala niat jahat, dan sifatnya menjadi suka damai dan suka berbuat baik. Pada waktunya, roh leluhur tersebut akan diangkat menjadi dewa leluhur, atau penjaga. Karena hidup berdampingan dengan Buddhisme, Shinto memadukan beberapa ajaran Buddha, termasuk doktrin firdaus. Jadi, kepercayaan akan peri tidak berkematian ternyata bersifat fundamental dalam Shinto.

Peri Tidak Berkematian dalam Taoisme, Penyembahan Leluhur dalam Konfusianisme

18 Taoisme didirikan oleh Lao-tze, yang konon hidup di Cina pada abad keenam SM. Menurut Taoisme, tujuan dalam kehidupan adalah untuk menyelaraskan aktivitas manusia dengan Tao—cara alam. Pemikiran Taoisme mengenai peri tidak berkematian dapat disimpulkan sebagai berikut: Tao adalah prinsip yang mengendalikan alam semesta. Tao tidak memiliki awal dan tidak memiliki akhir. Dengan hidup selaras dengan Tao, seseorang ambil bagian di dalamnya dan menjadi abadi.

19 Dalam upaya untuk menyatu dengan alam, para penganut Taoisme belakangan menjadi sangat berminat dengan keabadian dan ketangguhan alam. Mereka berspekulasi bahwa mungkin melalui hidup selaras dengan Tao, atau cara alam, seseorang dapat, dengan suatu cara, menemukan rahasia alam dan menjadi kebal terhadap cedera fisik, penyakit, dan bahkan kematian.

20 Para penganut Taoisme mulai bereksperimen dengan meditasi, latihan pernapasan, dan diet, yang dianggap dapat menunda kemunduran jasmani dan kematian. Tak lama kemudian, mulailah beredar legenda-legenda mengenai orang-orang tidak berkematian yang dapat terbang di atas awan, dapat muncul dan menghilang sesuka hati, dan yang tinggal di gunung keramat atau pulau terpencil sejak waktu yang tak terhitung lamanya, hidup dari embun atau buah-buah ajaib. Sejarah Cina melaporkan bahwa pada tahun 219 SM, Kaisar Ch’in Shih Huang Ti mengutus sebuah armada kapal berisi 3.000 anak laki-laki dan perempuan untuk menemukan pulau legendaris P’eng-lai, tempat kediaman orang-orang yang tidak berkematian, guna membawa kembali tanaman hidup abadi. Tentu saja, mereka tidak kembali dengan membawa eliksir tersebut.

21 Petualangan mencari kehidupan kekal menyebabkan para penganut Taoisme bereksperimen untuk membuat pil-pil hidup abadi melalui alkimia. Menurut pandangan penganut Taoisme, kehidupan terjadi sewaktu kekuatan yin dan yang (perempuan dan laki-laki) yang saling bertolak belakang bergabung. Jadi, dengan meleburkan timah hitam (berwarna gelap, atau yin) dan merkuri (berwarna terang, atau yang), para ahli alkimia meniru proses alam dan mereka menyangka bahwa ini akan menghasilkan pil hidup abadi.

22 Pada abad ketujuh M, Buddhisme mulai mempengaruhi kehidupan agama orang-orang Cina. Hasilnya adalah suatu campuran yang mencakup unsur-unsur Buddhisme, spiritisme, dan penyembahan leluhur. ”Baik Buddhisme maupun Taoisme,” kata Profesor Smart, ”memberi bentuk dan makna pada kepercayaan mengenai kehidupan setelah kematian yang agak kabur dalam penyembahan leluhur di Cina purba.”

23 Konfusius (atau Kong Hu Cu), cendekiawan lain dari Cina pada abad keenam SM, yang filsafatnya menjadi dasar Konfusianisme, tidak banyak berkomentar mengenai kehidupan setelah kematian. Sebaliknya, ia menekankan pentingnya kebaikan moral dan perilaku yang diterima masyarakat. Tetapi, ia bersikap baik terhadap penyembahan leluhur dan sangat menekankan pentingnya menjalankan upacara yang berkaitan dengan roh-roh leluhur yang telah meninggal.

Agama-Agama Timur Lainnya

24 Jainisme didirikan di India pada abad keenam SM. Pendirinya, Mahāwīra, mengajarkan bahwa semua benda hidup memiliki jiwa yang kekal dan bahwa keselamatan jiwa dari belenggu Karma hanya dimungkinkan melalui penyangkalan diri serta disiplin diri yang ekstrem dan sama sekali tidak melakukan kekerasan terhadap semua makhluk. Para penganut Jainisme berpegang pada kepercayaan-kepercayaan ini hingga hari ini.

25 India juga adalah tempat lahirnya Sikhisme, agama yang dipraktekkan oleh 19 juta orang. Agama ini bermula pada abad ke-16 sewaktu Guru Nānak memutuskan untuk melebur unsur-unsur terbaik dari Hinduisme dan Islam serta membentuk suatu agama paduan. Sikhisme menerima kepercayaan Hindu berupa jiwa yang tidak berkematian, reinkarnasi, dan Karma.

26 Jelaslah, kepercayaan bahwa kehidupan berlanjut setelah tubuh mati merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kebanyakan agama-agama Timur. Namun, bagaimana dengan Susunan Kristen, Yudaisme, dan Islam?

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar