Jumat, 23 Agustus 2013

Mengeksplorasi Alam Semesta Kita dan Alam Semesta Lain

 


Oleh: Martin Rees

(Sumber: Scientific American, Special Edition – The Once and Future Cosmos, 31 Desember 2002, hal. 82-87)

"Di abad ini kosmolog akan membongkar misteri kelahiran alam semesta kita—dan barangkali juga membuktikan eksistensi alam-alam semesta lain".

Struktur skala besar alam semesta bisa 
disimulasikan dengan menjalankan model
-model kosmologis pada superkomputer. 
Dalam simulasi di atas, yang dihasilkan oleh 
Virgo Consortium, setiap partikel 
merepresentasikan galaksi

Eksplorasi kosmik merupakan pencapaian abad 20 yang menonjol. Baru pada 1920-an kita sadar bahwa Bima Sakti kita, dengan 100 miliar bintangnya, hanyalah salah satu di antara jutaan galaksi. Pengetahuan empiris kita tentang alam semesta sejak saat itu bertambah sedikit demi sedikit. Kita sekarang bisa meletakkan keseluruhan tata surya kita dalam konteks evolusi yang besar, menelusuri atom penyusunnya hingga jenak-jenak awal big bang. Seandainya kita menemukan makhluk berakal asing, satu hal yang mungkin sama-sama dimiliki oleh kita dan mereka—barangkali satu-satunya hal—adalah kepentingan bersama terhadap kosmos, yang darinya kita semua muncul.

Menggunakan generasi mutakhir observatorium darat dan orbit, astronom dapat menoleh ke masa lampau dan melihat bukti terang evolusi alam semesta. Citra-citra mengagumkan dari Hubble Space Telescope mengungkap kondisi galaksi-galaksi di masa amat lampau: bola gas baur berpijar yang dibintiki bintang-bintang biru masif yang terbakar cepat. Bintang-bintang ini mengubah hidrogen asli dari big bang menjadi atom-atom lebih berat, dan ketika mati, bintang-bintang itu menyemai galaksi mereka dengan blok dasar penyusun planet dan kehidupan—karbon, oksigen, besi, dan sebagainya. Sang Pencipta tidak harus memutar 92 kenop berlainan untuk menghasilkan unsur-unsur alami dalam tabel periodik. Justru, galaksi-galaksi bertindak sebagai ekosistem besar sekali, menempa unsur-unsur dan mendaur ulang gas melalui generasi-generasi bintang yang berturut-turut. Ras manusia sendiri tersusun dari debu bintang—atau, secara kurang romantis, limbah nuklir dari bahan bakar yang membuat bintang bersinar.

Astronom juga sudah tahu banyak soal era pragalaksi awal dengan mempelajari radiasi gelombang mikro latar yang membuat ruang antargalaksi agak hangat. Afterglow (pijaran setelah sumbernya menghilang—penj) penciptaan ini memberitahu kita bahwa keseluruhan alam semesta pernah lebih panas daripada inti bintang. Ilmuwan bisa memakai data laboratorium untuk mengkalkulasi seberapa banyak fusi nuklir terjadi selama beberapa menit pertama setelah big bang. Prediksi proporsi hidrogen, deuterium, dan helium cocok dengan observasi para astronom, dengan demikian menguatkan teori big bang.

Sekilas, upaya pengukuran kosmos mungkin terasa lancang dan prematur, bahkan di awal abad 21. Namun demikian, kosmolog telah membuat kemajuan luar biasa dalam tahun-tahun belakangan. Sebab yang membuat keadaan menjadi mengagumkan adalah derajat kompleksitasnya, bukan ukurannya belaka—dan bintang lebih sederhana daripada serangga. Panas dahsyat di dalam bintang—dan di alam semesta awal, menjamin bahwa segala sesuatu pecah menjadi konstituen terdasarnya. Para biologlah, yang perannya adalah mempelajari struktur pepohonan, kupu-kupu, dan otak yang berlapis-lapis dan berbelit-belit, yang menghadapi tantangan lebih keras.

Kemajuan kosmologi telah membawa misteri-misteri baru ke dalam fokus yang lebih tajam dan mengangkat pertanyaan-pertanyaan yang akan menantang astronom memasuki abad ini. Contohnya, mengapa alam semesta kita mengandung campuran bahan demikian? Dan bagaimana, dari permulaannya yang rapat, ia timbul menjadi ukuran sebesar ini? Jawabannya akan membawa kita melampaui fisika yang kita kenal baik dan akan membutuhkan pemahaman baru soal sifat ruang dan waktu.  Untuk betul-betul memahami sejarah alam semesta, ilmuwan harus menemukan kaitan mendalam antara alam kosmik yang amat besar dan dunia quantum yang amat kecil.

Memalukan untuk diakui, tapi astronom memang belum tahu dari apa alam semesta terbuat. Objek-objek yang memancarkan radiasi yang dapat kita amati—semisal bintang, quasar, dan galaksi—hanya menyusun sebagian kecil materi alam semesta. Bagian terbesar materi alam semesta [berwujud] gelap dan belum terjelaskan. Kebanyakan kosmolog percaya dark matter tersusun dari partikel-partikel yang berinteraksi secara lemah yang tersisa dari big bang, tapi boleh jadi ia lebih eksotis lagi. Apapun keadaannya, jelas galaksi, bintang, dan planet hanyalah buah terkemudian di sebuah kosmos yang didominasi oleh materi yang sungguh berbeda. Pencarian dark matter, terutama lewat eksperimen sensitif bawah tanah yang dirancang untuk mendeteksi partikel-partikel subatom yang sulit dimengerti, akan berjalan terus dengan cepat pada dekade ini. Taruhannya tinggi: keberhasilan bukan cuma akan memberitahu kita bahan penyusun sebagian besar [porsi] alam semesta kita tapi juga barangkali mengungkap beberapa jenis partikel baru yang fundamental.

Nasib akhir alam semesta kita—apakah ia terus mengembang untuk jangka waktu tak terhingga atau akhirnya berubah arah dan kolaps menuju big crunch—bergantung pada jumlah total dark matter dan gravitasi yang dikerahkannya. Data mutakhir mengindikasikan bahwa alam semesta hanya mengandung sekitar 30% materi dari [jumlah] yang diperlukan untuk menghentikan perluasan. (Dalam jargon kosmolog, omega—rasio densitas teramati banding densitas kritis—bernilai 0,3.) Kemungkinan pertumbuhan abadi telah menguat lebih jauh belakangan ini: observasi menggiurkan terhadap supernova-supernova jauh mengindikasikan bahwa perluasan alam semesta mungkin sedang mencepat ketimbang melambat. Observasi ini mungkin mengindikasikan bahwa sebuah gaya tambahan membenamkan gravitasi pada skala kosmik—fenomena yang barangkali berkaitan dengan apa yang Albert Einstein sebut sebagai konstanta kosmologis, sebentuk energi yang terpendam di ruang hampa itu sendiri yang (tak seperti materi biasa) memiliki tekanan negatif dan menyebabkan tolakan. Studi ketidakseragaman kecil pada radiasi latar mengungkap bahwa alam semesta kita “flat”—dalam arti, sudut-sudut segitiga besar yang digambar di ruang berjumlah 180 derajat. Ketika dirangkai, deretan bukti ini mengindikasikan bahwa 5% (atau kurang sedikit) dari [keseluruhan] alam semesta kita tersusun dari atom biasa, sekitar 25%-nya adalah dark matter, dan 70% sisanya adalah dark energy yang lebih membingungkan lagi.


Deretwaktu kosmik memperlihatkan evolusi alam semesta
kita sejak big bang sampai hari ini. Pada jenak pertama
penciptaan—masa inflasi—alam semesta mengembang
dengan laju menggemparkan. Setelah sekitar tiga menit,
plasma partikel dan radiasi cukup mendingin untuk
memperkenankan pembentukan nukleus atom sederhana;
setelah 300.000 tahun berikutnya, atom hidrogen dan
helium mulai terbentuk. Bintang-bintang dan galaksi-galaksi
pertama muncul satu miliar tahun kemudian. Nasib akhir
alam semesta—apakah ia mengembang selamanya atau
kolaps kembali—belum diketahui, walaupun bukti
mutakhir mendukung perluasan abadi.
Riset juga akan fokus pada evolusi struktur skala besar alam semesta. Jika kita harus menjawab pertanyaan “Apa yang terjadi sejak big bang?” dalam satu kalimat saja, jawaban terbaik mungkin mengambil nafas dalam lalu berkata, “Sejak permulaan, gravitasi telah memperkuat ketidakhomogenan, membangun struktur-struktur, dan mempertinggi kontras temperatur—prasyarat munculnya kompleksitas yang berada di sekeliling kita sekarang dan kita adalah bagian darinya.” Astronom sedang mempelajari lebih banyak tentang proses berdurasi 10 miliar tahun ini dengan membuat alam-alam semesta virtual dalam komputer mereka. Pada tahun-tahun mendatang, mereka akan mampu mensimulasikan sejarah alam semesta dengan realisme yang kian sempurna lalu membandingkan hasilnya dengan temuan teleskop.

Persoalan struktur telah menyita pikiran astronom sejak zaman Isaac Newton, yang penasaran mengapa semua planet mengelilingi matahari ke arah yang sama dan di bidang yang hampir sama. Dalam karya tahun 1704, Opticks, dia menulis: “Kebetulan buta tidak bisa membuat semua planet bergerak ke satu arah yang sama dalam orbit yang konsentris.” Keseragaman sehebat itu pada sistem planet, Newton yakin, pasti merupakan hasil dari pemeliharaan ilahi.

Kini astronom tahu bahwa koplanaritas (kesebidangan—penj) planet-planet merupakan hasil wajar dari cikal-bakal tata surya sebagai cakram gas dan debu yang berputar. Memang, kita sudah memperluas batas pengetahuan kita hingga masa-masa yang jauh lebih purba; kosmolog dapat secara garis besar menguraikan sejarah alam semesta hingga detik pertama setelah big bang. Secara konseptual, kita berada dalam kondisi sedikit lebih baik daripada Newton. Pemahaman kita akan rantai sebab-akibat peristiwa kini mengulur lebih jauh ke masa lampau, tapi kita masih menjumpai rintangan, sebagaimana Newton dahulu. Misteri besar bagi kosmolog adalah rentetan peristiwa yang terjadi kurang dari satu milidetik setelah big bang, ketika alam semesta luar biasa kecil, panas, dan rapat. Hukum fisika yang kita kenal dengan baik menyodorkan panduan kokoh untuk menjelaskan apa yang terjadi selama periode kritis ini.

Untuk membongkar misteri ini, kosmolog harus terlebih dahulu menjelaskan—dengan memperbaiki dan menyempurnakan observasi mutakhir—sebagian karakteristik alam semesta saat ia baru berumur satu detik: laju perluasannya, ukuran fluktuasi densitasnya, dan proporsi atom biasa, dark matter, dan radiasinya. Tapi untuk memahami mengapa alam semesta kita disetel seperti ini, kita harus menyelidiki lebih jauh ke masa lampau, ke pecahan kecil mikrodetik pertama. Upaya semacam itu akan membutuhkan kemajuan teori. Fisikawan harus menemukan cara untuk menghubungkan teori relativitas umum Einstein, yang mengatur interaksi skala besar di kosmos, dengan prinsip quantum yang berlaku pada jarak amat pendek. Sebuah teori terpadu dibutuhkan untuk menjelaskan apa yang terjadi pada momen-momen krusial pertama setelah big bang, ketika keseluruhan alam semesta terperas menjadi ruang yang lebih kecil daripada atom.


Alam-alam semesta terus-menerus terlahir, menurut
beberapa kosmolog. Tiap alam semesta diperlihatkan
di sini sebagai gelembung mengembang yang mencabang
dari alam semesta induknya. Perubahan warna merepresentasikan pergeseran hukum fisika dari
satu alam semesta ke alam semesta lain.
Astronomi merupakan subjek di mana obervasi adalah raja. Nah, hal yang sama berlaku untuk kosmologi—kontras dengan era pra 1965, saat spekulasi sebagian besar tidak dibatasi. Jawaban untuk banyak pertanyaan lama kosmologi kemungkinan besar akan datang dari teleskop-teleskop yang belakangan sudah digunakan. Dua Keck Telescope di Mauna Kea, Hawaii, jauh lebih sensitif daripada observatorium terdahulu dan dengan demikian dapat melihat objek-objek yang lebih redup. Yang lebih mengesankan adalah Very Large Telescope milik European Southern Observatory di Paranal, Chile utara—sederet empat teleskop terhubung, masing-masing dengan cermin berdiameter delapan meter. Di antariksa, astronom dapat memanfaatkan Chandra X-ray Observatory dan rekan Eropanya, XMM-Newton. Beberapa instrumen baru sedang dibangun untuk mendeteksi gelombang radio, emisi inframerah, dan sinar kosmik. Dan satu dekade dari sekarang, teleskop-teleskop antariksa generasi mendatang akan memikul usaha jauh melebihi capaian Hubble.


Observasi di bulan akan sangat memperluas jangkauan
astronom abad 21. Sisi jauh bulan merupakan tempat
ideal untuk teleskop berkat ketiadaan atmosfer dan
malamnya yang gelap sama sekali, bebas dari pantulan
matahari dan transmisi radio dari Bumi. Bijih bulan
bisa dipakai untuk membangun instrumen.
Jauh sebelum 2050 kita barangkali akan menyaksikan pembangunan observatorium raksasa di antariksa atau barangkali di sisi jauh bulan. Sensitivitas dan kemampuan pencitraan deretan [teleskop] ini akan jauh melampaui instrumen manapun yang sekarang dipakai. Teleskop-teleskop baru akan membidik black hole dan planet di tata surya lain. Mereka juga akan memberikan foto-foto semua era kosmologis hingga cahaya pertama di masa lampau, ketika bintang-bintang (atau mungkin quasar) terawal berkondensasi dari puing big bang yang mengembang. Sebagian observatorium ini mungkin bahkan mampu mengukur gelombang gravitasi, memungkinkan ilmuwan menyelidiki vibrasi di strktur ruangwaktu itu sendiri.

Jumlah data yang disediakan oleh semua instrumen ini akan begitu banyak sehingga seluruh proses analisa dan penemuan kemungkinan besar akan diotomatisasi. Astronom akan memfokuskan perhatian pada angka statistik yang diproses hebat untuk setiap populasi objek yang mereka pelajari dan dengan cara ini mereka menemukan contoh terbaik—misalnya, planet-planet di tata surya lain yang paling mirip Bumi. Periset juga akan berkonsentrasi pada objek-objek ekstrim yang mungkin memegang petunjuk menuju proses-proses fisikal yang belum dipahami sepenuhnya. Satu objek demikian adalah penyembur sinar gamma (gamma ray burster), yang memancarkan, selama beberapa detik, daya sebanyak semiliar galaksi. Astronom akan semakin menggunakan angkasa sebagai laboratorium kosmik untuk menyelidiki fenomena yang tidak bisa disimulasikan di Bumi.

Manfaat lain otomatisasi adalah membuka akses menuju data astronomis yang di masa lalu hanya tersedia bagi segelintir orang berwewenang istimewa. Peta-peta detil langit akan bisa tersedia bagi siapapun yang dapat mengakses atau mengunduhnya. Para peminat di manapun di dunia akan bisa mengecek dugaan mereka sendiri, mencari pola-pola baru, dan menemukan objek-objek tak lazim.

Isyarat Multiverse?

Kosmolog memandang alam semesta sebagai permadani rumit yang berevolusi dari kondisi awal yang tertanam pada mikrodetik pertama setelah big bang. Struktur dan fenomena kompleks terhampar dari hukum fisika sederhana—kita takkan ada jika hukum tersebut tak ada. Namun, hukum sederhana tidak harus menghasilkan konsekuensi kompleks. Pikirkan analogi dari medan matematika fraktal: set Mandelbrot, sebuah pola dengan kedalaman struktur yang tak terhingga, disandikan dengan algoritma pendek, tapi algoritma sederhana lainnya, yang dari luar tampak serupa, menghasilkan pola amat membosankan.
Alam semesta kita takkan tersusun seandainya tidak mengembang dengan laju istimewa. Seandainya big bang menghasilkan lebih sedikit fluktuasi densitas, alam semesta akan tetap gelap, tanpa galaksi atau bintang. Dan ada prasyarat lain untuk timbulnya kompleksitas. Seandainya alam semesta kita memiliki lebih dari tiga dimensi ruang, planet-planet tak bisa bertahan di orbitnya di sekeliling matahari. Seandainya gravitasi jauh lebih kuat, ia akan menggumal organisme seukuran manusia, dan bintang-bintang akan kecil dan berhidup singkat. Seandainya gaya nuklir beberapa persen lebih lemah, hanya hidrogen yang akan stabil: takkan ada tabel periodik, ilmu kimia, dan kehidupan.

Beberapa orang berargumen bahwa penyetelan halus alam semesta ini, yang terasa sebagai pemeliharaan ilahi, tak perlu diherankan, sebab kalau tidak demikian, kita takkan eksis. Namun ada penafsiran lain: mungkin eksis banyak alam semesta, tapi cuma beberapa alam semesta yang memperkenankan makhluk seperti kita muncul.

Barangkali, kalau begitu, big bang kita bukanlah satu-satunya. Spekulasi ini secara dramatis memperluas konsep realitas kita. Seluruh sejarah alam semesta kita menjadi satu episode saja, satu segi saja, di multiverse yang tak terhingga.  Beberapa alam semesta mungkin menyerupai alam semesta kita, tapi kebanyakan kolaps kembali setelah eksis sesaat, atau hukum yang mengaturnya tidak memperkenankan konsekuensi kompleks.

Beberapa kosmolog, terutama Andrei Linde dari Universitas Stanford dan Alex Vilenkin dari Universitas Tufts, sudah menunjukkan bagaimana asumsi matematis tertentu menghasilkan pembentukan multiverse. Tapi ide-ide semacam itu akan tetap berada di pinggiran kosmologi yang spekulatif sampai kita betul-betul memahami—ketimbang hanya menaksir—fisika ekstrim yang berlaku tak lama setelah big bang. Akankah teori terpadu yang lama dinantikan menetapkan secara unik massa partikel-partikel dan kekuatan gaya-gaya dasar? Ataukah atribut-atribut ini hanyalah hasil kebetulan dari cara alam semesta kita mendingin—manifestasi sekunder dari hukum yang lebih dalam lagi, yang mengatur keseluruhan ansambel alam-alam semesta?

Topik ini mungkin terasa misterius, tapi status ide multiverse mempengaruhi bagaimana kita mesti menempatkan taruhan kita dalam beberapa kontroversi kosmologi yang sedang berlangsung. Beberapa teoris memiliki preferensi kuat pada gambaran kosmos paling sederhana, yang mensyaratkan omega bernilai 1—alam semesta cukup rapat untuk menghentikan perluasannya sendiri. Mereka tidak senang dengan observasi yang mengisyaratkan bahwa alam semesta tak begitu rapat dan tidak senang dengan komplikasi tambahan semisal konstanta kosmologis dan dark energy. Barangkali kita mesti menarik pelajaran dari astronom abad 17, Johannes Kepler dan Galileo Galilei, yang gelisah mendapati orbit-orbit planet berbentuk elips. Lingkaran, pikir mereka, lebih sederhana dan lebih indah. Tapi Newton kemudian menjelaskan semua orbit dari segi hukum gravitasi universal yang sederhana. Seandainya Galileo masih hidup, dia pasti akan senang dan tenang dengan bentuk elips tersebut.

Kondisi ini jelas serupa. Jika alam semesta berdensitas rendah dan berkonstanta kosmologis terasa buruk, mungkin ini menunjukkan keterbatasan penglihatan kita. Sebagaimana Bumi mengikuti salah satu dari beberapa orbit Keplerian di sekeliling matahari yang memungkinkannya dapat dihuni, alam semesta kita mungkin merupakan salah satu dari beberapa anggota yang dapat dihuni di antara ansambel besar.

Tantangan Berikutnya

Ilmuwan sedang memperluas simpanan pengetahuan manusia tentang tiga batasan besar: objek amat besar, objek amat kecil, objek amat kompleks. Kosmologi menyangkut semua itu. Pada tahun-tahun mendatang, periset akan fokus menjelaskan konstanta dasar alam semesta, semisal omega, dan menemukan apa itu dark matter. Saya rasa ada peluang mencapai kedua sasaran ini dalam 10 tahun ke depan. Mungkin segalanya akan sesuai dengan kerangka teoritis standar, dan kita akan berhasil menetapkan bukan cuma keberlimpahan relatif atom biasa dan dark matterdi alam semesta, tapi juga konstanta kosmologis dan fluktuasi densitas purba. Jika ini terjadi, kita akan mendapatkan ukuran alam semesta kita sebagaimana kita telah mengetahui ukuran dan bentuk Bumi dan matahari kita. Di sisi lain, alam semesta kita mungkin ternyata terlampau rumit untuk sesuai dengan kerangka standar. Beberapa orang mungkin menggambarkan hasil pertama di atas sebagai hasil optimistis; yang lainnya mungkin lebih memilih mendiami tempat yang lebih rumit dan menantang!

Di samping itu, para teoris harus menguraikan fisika eksotis momen-momen terawal alam semesta. Jika mereka berhasil, kita akan mengetahui apakah ada banyak alam semesta dan fitur mana dari alam semesta kita yang sekadar kebetulan ketimbang hasil hukum terdalam. Namun, pemahaman kita akan tetap memiliki batas. Mungkin kelak fisikawan menemukan teori terpadu yang mengatur seluruh realitas fisik, tapi mereka takkan mampu memberitahu kita apa yang menghembuskan nyawa ke dalam persamaan-persamaan mereka dan apa yang mengaktualisasikannya di kosmos riil.

Kosmologi bukan cuma sains fundamental; ia juga paling agung di antara sains lingkungan. Bagaimana sebuah bola api panas dan tak berbentuk berevolusi, selama 10 miliar sampai 15 miliar tahun, menjadi kosmos kita yang kompleks berisi galaksi, bintang, dan planet? Bagaimana atom-atom terangkai—di Bumi ini dan barangkali di planet-planet lain—menjadi makhluk hidup yang cukup rumit untuk merenungkan asal-usul dirinya? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan tantangan bagi milenium ini. Untuk menjawabnya mungkin akan menjadi pencarian tak berujung.

Penulis

Martin Rees adalah Royal Society Research Professor di Universitas Cambridge dan memegang gelar kehormatan dari Astronomer Royal. Dulunya dia adalah direktur Cambridge Institute of Astronomy dan sebelum itu merupakan profesor di Universitas Sussex. Perhatian risetnya meliputi black hole, pembentukan galaksi, dan astrofisika high-energy. Dia juga banyak mengajar dan menulis untuk kalangan umum. Buku-buku teranyarnya adalah Before the Beginning (Perseous Publishing, 1998), Just Six Numbers (Basic Books, 2000), dan Our Cosmic Habitat (Princeton University Press, 2001).

Untuk Digali Lebih Jauh
  • Planet Quest: The Epic Discovery of Alien Solar Systems. Ken Croswell. Free Press, 1997.
  • The Little Book of the Big Bang: A Cosmic Primer. Craig J. Hogan. Copernicus, 1998.
Sumber: Sainstory -Sains Social History

Tidak ada komentar:

Posting Komentar