Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun. (al Ma’aarij: 4)
Bumi dipercaya telah memiliki kehidupan sejak 4 milyar tahun lalu. Bukti pendukungnya adalah temuan fosil bakeri dalam batuan berusia 3,5 milyar tahun asal Australia Barat. J. Willian Schop sang penemu Bakteri ini mengumumkannya tahun 1993 di Universitas California. Karena bakteri terlihat telah sangat maju, ia memperkirakan kahidupan di bumi telah ada sejak 4 milyar tahun lalu.
Usia bumi sekisar pada 4,6 milyar tahun. Kaum evolusionis percaya jika segala persyaratan tersedia, maka kehidupan akan segera muncul berkembang dengan pesat. Itu sebabnya ilmuan yakin kehidupan pastilah melimpah di semesta ini.
Tetapi keyakinan ini mengundang kritik. Jika memang kehidupan seperti bumi ini melimpah di jagat raya, dimanakah mereka? Ini pertanyaan yang pernah diajukan ahli fisika nuklir Enrico Fermi di tahun 1950 dan menjadi terkenal dengan sebutan Fermi Paradox.
Proyek SETI (Search for Extraterrestrial Intellegence) dinyatakan gagal mendeteksi gelombang radio dari pojok-pojok semesta limpahan peradaban maju makhluk luar angkasa. Meski diakui panjang gelombang yang telah diteliti baru separuh. Scietific American dalam uraiannya tentangExploring Intelligence, berkesimpulan tak ada bukti positif kehidupan luar bumi.
Dalam hitungan Paul Horowitz dari Harvard University, dalam rentang jarak 1.000 tahun cahaya dari bumi, mestinya ada satu sinyal radio hasil peradaban modern. Jarak tersebut melingkupi satu juta bintang. Jika itu terjadi minimal ada 1.000 jenis peradaban yang hasilnya mengembangkan teknologi gelombang radio tersentak dalam satu galaksi.
Jika peradaban seperti bumi butuh waktu 4,6 milyar tahun untuk sampai pada taraf kesadaran mencari peradaban lain, dalam arti teknologi telah berkembang seperti sekarang ini. Akan mudah membayangkan sampai sesaat sebelum matahari menemui ajal, kehabisan bahan bakar hidrogennya, teknologi telah berkembang tak terbayangkan. Kecuali ada skenario lain yang memusnahkan peradaban sebelum sampai puncaknya.
Bintang yang lebih tua dari matahari sangatlah banyak. Bukankah berarti peradaban yang berkembang akan sangat mungkintelah berkembang malampaui teknologi manusia saat ini. Jumlah mereka tentu teramat banyak. Mengapa mereka belum juga menemukan kita? Disinilah Paradok Fermi bergaung.
Migrasi Antar Bintang
Masalah ini telah lama jadi bahan diskusi sejak era astronomer Michael H. Hart dan David Viewing tahun 1975. Apa pun pandangan orang tentang UFO, bumi tak pernah diambil alih oleh mahkluk antariksa yang berkunjung. Mereka tak pernah campur tangan terhadap proses geologis maupun biologis peradaban bumi.
Ada beberapa dugaan mengapa ET (mahluk asing) tak juga berkunjung ke bumi. Mungkinkah perjalanan anatar bintang satu hal yang tidak mungkin sehingga mereka tak dapat menempuh jarak mencapai bumi. Mungkin ET sebenarnya telah melakukan observasi dan mengeksplorasi galaksi tetapi bumi terlewat dari pengamatan mereka.
Anggapan bahwa perjalanan antar bintang tidak dimungkinkan diragukan banyak kalangan. Saat ini saja, kecepatan mesin propulsi sudah mencapai 10-20% dari kecepatan cahaya. Menurut Stephanie D. Leifer, yang dimuat dalam Scientific American, February 1999, perjalanan mengunjung bintang terdekat tinggal menunggu beberapa decade saja.
Tetapi hal ini mengundang keraguan. Jika memang satu peradaban ddapat melakukan kolonisasi ke bintang terdekat tetangganya, mestinya gerakan migrasi antar bintang sudah menyentuh bumi.
Andaikan satu peradaban dapat melakukan perjalanan dengan teknologi antar bintang dengan kecepatan dan jarak 10 tahun cahaya, dibutuhkan waktu 400 tahun mulai dari membangun koloni baru. Jika kecepatan ekspansi mereka 0,02 tahun cahaya per tahun dikaitkan dengan usia galaksi dan rentang galaksi Bima Sakti yang 100.000 tahun cahaya, hitung punya hitung dalam tempo lima juta tahun saja seluruh proses kolonisasi seluruh galaksi tuntas dilaksanakan.
Lima juta tahun hanya 0,05 persen dari usia sesungguhnya galaksi kita. Jika waktu untuk tumbuh kembang satu koloni baru lebih lama lagi, seperti perkembangan peradaban manusia, 5000 tahun, waktu perkiraan saat manusia mampu membangun pesawat antariksa berawak antar bintang. Maka seluruh galaksi akan selesai diduduki dalam tempo 50 juta tahun, demikian hitungan Ian Crawford di majalah SCIENTIFIC AMERICAN.
Walaupun asas kolonisasi ini benar terjadi, mestinya bukan manusia yang bakal memulai. Jika asumsi kalangan evolusionis benar bahwa peradaban akan muncul di setiap planet yang memiliki unsure hara kehidupan seperti system tatasurya matahari maka peradaban di bintang 47 Ursa Mayor, akan jauh lebih maju dari manusia. Kandungan zat hara bintang ini sama dengan Matahari dengan usia yang lebih tua 7 milyar tahun. Dengan perbedaan 2,5 milyar tahun tentunya teknologi yang berkembang jauh melampaui manusia saat ini yang usia bintangnya baru 5 milyar tahun.
Sepertinya kalangan ilmuan harus menerima kenyataan bahw asatu-satunya kemungkinan semua skenario kolonisasi antar bintang tidak berjalan sesuai skenario karena peradaban tidak berkembang secara simultan dengan waktu.
Kehidupan bumi bias jadi ada benarnya dimulai sejak 4 milyar tahun yang lalu. Tetapi disadari juga bahwa baru 700 juta tahun yang lalu lah makhluk dengan multiseluler seperti hewan dan tumbuhan baru bermunculan. Sebelumnya selama 3 milyar tahun bumi hanya dihuni makhluk bersel tunggal.
Dinosaurus pernah merajai bumi hamper 147 juta tahun, tetapi tak ada peradaban yang muncul. Untuknya mereka punah dan member kesempatan makhluk mamalia menguasai bumi. Kemunculan manusia relative sangat muda ada yang mengatakan manusia modern pertama muncul di bumi 50.000 tahun yang lalu. Dalam rentang waktu yang pendek telah berkembang dan menghasilkan kesadaran seperti sekarang.
Seorang ahli fisika Brandon Carter, tahun 1983 ber-kesimpulan “peradaban jika dibandingkan dengan peradaban manusia sepertinya sangat jarang disemesta ini, meskipun lokasinya sangat sesuai untuk kehidupan seperti bumi yang kita huni”
Lebih Cepat Dari Cahaya
Jika diameter Matahari sama dengan 1,5 cm maka jarak ke bumi disebut 1 AU (Austronomical Unit) atau sekitar 1,2 meter. Diameter bumi akan setebal kertas HVS dan orbit bulan ke bumi 0,02 cm. Dalam skala seperti ini jarak bumi dengan bintang terdekat adalah 336 km. Inilah problem terbesar dalam penjelajahan antar bintang, jarak yang ampun-ampunan.
Saat ini benda tercepat yang diketahui manusia adalah cahaya. Mampu menempuh 300 ribu km perdetik. Cahaya yang kita lihat dari matahari sebenarnya kadaluasrsa dengan jeda 8 menit. Dengan kecepatan cahaya, bintang terdekat Proxima Centauri, selesai ditempuh dalam waktu 4,5 tahun.
Saat ini wahana buatan manusian, Voyager, tengah meluncur dengan kecepatan 59.200 km perjam. Dengan kecepatan seperti ini butuh waktu 80.000 tahun baru sampai.
Bukan Cuma masalah kecepatan yang harus dipecahkan umat manusia jika ingin berkunjung ketetangga sebelah. Jika bahan bakar padat seperti yang sekarang dimiliki, berapa banyak bahan bakar yang dibutuhkan. Bahkan jika roke tersebut menggunakan tenaga nuklir, dibutuhkan ribuan super tanker untuk memasok bahan bakar nuklirnya.
Satu-satunya jalan adalah perjalanan berkecepatan melampaui cahaya tanpa membutuhkan bahan bakar terus-menerus.
Apakah kecepatan melibihi cahaya dimungkinkan? Pada saat ini banya ilmuan percaya jawabannya adalah tidak mungkin. Tetapi mereka yang mengatakan tidak mungkin sesungguhnya tidak memiliki bukti bahwa anggapannya terbukti benar. Kecepatan superluminal (melebihi kecepatan cahaya) masih dimungkinkan asalkan terpenuhinya beberapa syarat antara lain struktur sesungguhnya dari semesta apakah waktu antariksa bersifat kontinyu, parameter fisika kontemporer diabaikan.
Hasilnya masih ada celah bahwa perjalanan melebihi kecepatan cahaya adalah mungkin. Ada dua teori yang saat ini berkembang terkait dengan kontruksi alam raya, Galilean Space Time (GST) dan Minkowiski Space Time (MST). Menurut Laro Schatzer, pada akhirnya jika memang memungkinkan perjalanan antar bintang melebihi kecepatan cahaya, teknologi fisika ilmiah seperti warp drive menjadi tantangan lain untuk mewujudkannya.
Marc G. Millis, ahli propulsi NASA menulis dalam Journal of Propulsion and Power (AIAA), Sept-Oct. 1997 dengan judul The Challege To Create The Space Drive, mengatakan “Perjalanan mengunjungi bintang tetangga memang masih sebatas fiksi ilmiah. Dibutuhkan penemuan teknologi tenaga pendorong bukan roket. Saat ini muncul tujuh hipotesa mesin pendiring tanpa tenaga roket. Yang dibutuhkan adalah penemuan mengenai fluktuasi elektromagnetik dalam ruang vacuum. Ilmu lain yang harus dikembangkan adalah seputar gaya inersia, gravitasi, atau pemahaman seputar ruang antariksa dalam kaitannya dengan elektromagnetik.”
Pada intinya, daripada menempuh jarak A ke B, mengapa tidak dengan mendekatkan jarak antar keduanya. Ini berarti ada upaya melipat ruang yang menjadi jarak antara A dan B. Mirip dengan melipat kertas yang telah diberi tanda A dan B sehingga nyaris bersentuhan atau malah bersentuhan. Hilang sudah jarak ribuan tahun cahaya.
NASA menyebut teknologi ini “the Horizon Methodilogy” dan mesin jelajahnya disebut “field drive”. Ada empat hipotesa mesin antar bintang yang saat ini berkembang, “Diameter Drive”, “Pitch Drive”, “Bias Drive” dan “Disjunction Drive”. John G. Cramer mengusulkan Alcubierre Warp Drive. Alcubierre Warp Drive bekerja dengan cara mendidtorsi ruang dan menciptakan ruang terisolasi yang disebut gelembung antariksa yang melengkung (warp). Pada sisi muka gelembung, ruang akan berkontraksi (seperti runtuhnya lubang hitam), pada sisi lain gelembung terjadi ekspansi ruang seperti saat big bang. Sederhananya seperti cara ular berjalan. Jika ular atau cacing berjalan dengan mengerutkan dan mengembangkan tubuhnya sedemikian rupa, maka mesin warp ini mendekatkan dan mengembangkan ruang di belakang dan di depan pesawat. Secara teori akan di dapat kecepatan melebihi cahaya.
Perjalanan dengan mengabaikan waktu dan jarak ini bukan hal baru dalam Islam. Kisah perjalanan Isra’ dan Mi’raj nabi tertangkap seperti itu. Dalam tempo kurang dari semalam, Nabi mampu menempuh jarak dari Makkah ke Palestina dan meembus langit ketujuh. Hanya sedikit informasi tentang wahana yang dipakai Nabi.
Dalam hadis diceritakan : “lalu dibawa pula padaku seekor binatang tunggangan berwarna putih yang dikenali sebagai Buraq, ia lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari baghal. Ia mengatur langkahnya sajauh mata memandang, sementara itu akau dibawa diatas belakangnya. Kemudian kami pun memulai perjalanan hingga sampai ke langit dunia, . . .” Kecepatan tempuhnya kalau satu langkah dianggap detik, mencapaisejauh mata memandang. Jelas melampaui kecepatan cahaya.
Ada lagi Quran membicarakan jarak dan kecepatan. Dalam surat al Ma’aarij ayat 4 : “ Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” Sebagian ahli tafsir menerjemahkan kata “kadarnya lima puluh ribu tahun” adalah jarak yang ditempuh oleh manusia di bumi. Dengan apa ditempuhnya? Jalan kaki, naik unta atau berlayar, jika ini dikaitkan dengan teknologi yang berkembang saat ayat ini diturunkan. Bilangan lima puluh ribu tahun akan mudah dikonversi menghasilkan jarak tempat malaikat dengan bumi. Jika perjalanan secepatan unta, 25 km/jam maka sudah lama tempat dengan jarak seperti ini telah teramati manusia (2,2 milyar km).
Mencari kediaman malaikat ala Fiaun (dengan meminta dibangunkan bangunan yang tinggi untuk melihat Tuhan Musa), bias jadi berakhir dengan kegagalan.
Semesta ini sepertinya tidak selesai dijelajahi dengan hanya menaklukkan jarak dan waktu. Ada fenomena lain, terkai dengan dimensi. Mungkinkah kegagalan manusia mencari makhluk cerdas lain karena terlalu asik dengan dimensi ruang dan waktu dunianya sendiri dan waktu dunianya sendiri belum melihat ke dunia lain dengan dimensi yang berbeda? Mungkinkah pintu –p[into langi yang dimaksud adalah pintu-pintu dimensi? Waullau ‘alam Bishowab.
sumber
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar