Disusun Oleh : Firdausi dan Fitriyah Masyhudi (Mahasiswi Program Magister Filsafat di STFI SADRA)
SOCRATES
(469 SM – 399 SM)
- Latar Belakang Munculnya Socrates Dengan Pemikiran Filsafatnya
Pada abad ke 5 sebelum Masehi, dilaporkan adanya sekelompok sarjana yang dalam bahasa Yunani disebut sebagai “Sofis” : orang bijak atau berilmu. Akan tetapi, biarpun berinformasi luas mengenai ilmu pengetahuan pada masanya, mereka tidak meyakini adanya kebenaran-kebenaran pasti. Juga, menafikan adanya sesuatu yang benar-benar diketahui secara pasti.
Pemikir paling mahsyur yang berdiri menentang kaum sofis dan menyanggah gagasan-gagasan mereka adalah Sokrates. Dialah orang yang menamai dirinya dengan philosophus, pencinta kebijaksanaan. Ungkapan ini lantas di-Arab-kan menjadi failasuf dan darinya pula kata falsafah diambil.
Socrates dilahirkan tahun 469 (atau 470) SM dan meninggal pada tahun 399 SM di usia 71 tahun karena hukuman mati yang diberikan penguasa pada saat itu atas tuduhan merusak generasi muda dan tidak mempercayai Tuhan-Tuhan yang telah diakui pada saat itu. Sokrates lahir dari keluarga dimana ayahnya adalah seorang ahli membuat patung, sedangkan ibunya Phainarete adalah seorang bidan, dari sinilah Socrates menamakan metodenya berfilsafat dengan metode kebidanan nantinya.
Pada saat itu pemuda-pemuda di Athena dipimpin oleh doktrin relativisme dari kaum sofis, sedangkan Socrates adalah seorang yang menganut moral yang absolut dan meyakini bahwa menegakkan moral adalah tugas filosof, yang berpikir berdasarkan idea-idea rasional dan keahlian dalam pengetahuannya
Ajaran para sofis sangat berbeda dengan para filsuf sebelumnya, para filsafat alam. Para sofis tidak tertarik dengan filsafat alam, ilmu pasti, atau metafisika waktu itu. Mereka menilai filsafat-filsafat sebelumnya terlalu mengawang-awang (terlalu jauh pemikirannya). Para sofis ini lebih tertarik pada hal-hal yang lebih konkret (nyata), seperti halnya: makna hidup manusia, moral, norma, dan politik. Hal-hal inilah yang perlu dianggap perlu diajarkan pada generasi muda yang sebagai penerusnya dan dikembangkan untuk kelangsungan negara. Namun, kepandaian dan keterampilan para sofis dalam berdebat itu disalahgunakan. Hal itu dilakukan untuk membalikkan kebenaran-kebenaran dan moralitas-moralitas yang ada dalam kehidupan ini. Sebuah kebenaran dan moralitas pada waktu itu dijadikan sesuatu yang relatif. Para sofis meragukan atas adanya kebenaran yang objektif dan universal. Karena mereka meragukan segala sesuatu dan dari itu mereka membuat justifikasi sendiri tentang suatu kebenaran yang mereka bangun snediri melalui argumentasi-argumentasi yang subjektif (Bertens, 1975). Akibat dari itu semua adalah semua orang dianggap memiliki kebenran sendiri, dimana sejauh mereka memiliki kemampuan dalam berargumentasi dalam perdebatan tersebut.
Pemikiran-pemikiran mereka yang terfokuskan dan terarah pada manusia itu, membawa mereka pada keyakinan bahwa manusia merupakan ukuran segala-galanya. Tidak ada nilai yang baik, benar, atau indah dalam dirinya sendiri. Semuanya akan dianggap baik, benar dan indah apabila dihubungkan dengan persepsi individu masing-masing. Akibatnya yaitu bahwa tidak ada suatu keniscayaan, tidak ada kebenaran yang objektif dan universal. Semuanya adalah relatif. Para sofis memberi tekanan pada relativisme nilia. Oleh karena itu, sendi-sendi kepastian dan keyakinana moral dan hukum dalam masyarakat Yunani menjadi terancam.
Pada saat inilah Sokrates muncul, Ia datang untuk meyakinkan orang Athena bahwa tidak semua kebenaran itu relatif; ada kebenaran yang umum yang dapat dipegang oleh semua orang. Sebagian kebenaran memang relatif, tetapi tidak semuannya. Sebenarnya tidak ada banyak perbedaan antara Socrates dengan orang-orang sofis. Karena Socrates memulai filsafatnya sama dengan orang sofis yaitu bertolak dari pengalaman sehari-hari. Yang mana filsafat-filsafatnya lebih terarah ke filsafat yang lebih praktis dan konkret. Oleh Socrates filsafat diarahkan pada penyelidikan tentang manusia, etika, dan pengalaman hidup sehari-hari, baik dalam konteks individu (psikologi), moral dan politik. Akan tetapi ada perbedaan yang sangat penting antara orang sofis dengan Socrates: Socrates tidak menyetujui relativisme kaum sofis. Menurutnya, kebenaran bukanlah sesuatu yang subjektif dan relatif. Kita dapat menangkap adanya kebenaran yang objektif, yang tidak tergantung pada individu yang memikirkan atau menggapainya atau aku dan kita. Dalam kehidupan sehari-hari, ada prilaku yang baik dan yang tidak baik, yang pantas dan yang tidak pantas untuk dilakukan. Penentuan baik dan buruk, pantas dan tidaknya tidak terletak pada kekuatan argumentasi orang per orang, melainkan pada sesuatu yang sifatnya Universal.
Filsafat Socrates juga banyak membahas mengenai masalah-masalah etika. Ia beranggapan bahwa yang paling utama dalam kehidupan bukanlah kekayaan atau pun kehormatan, melainkan kesehatan jiwa. Prasyarat utama dalam hidup manusia adalah jiwa yang sehat. Jiwa manusia yang sehat terlebih dulu agar tujuan-tujuan hidup lainnya dapat diraih. Tujuan hidup yang paling utama adalah kebahagian ( eudaimonia / happiness). Namun, kebahagiaan dalam bahasa yunani bukan dalam arti seperti sekarang, yakni mencari kesenangan. Kebahagiaan dalam bahasa yunani berarti suatu kesempurnaan. Plato dan Aristoteles setuju dengan pendapat Socrates bahwa eudaimonia merupakan tujuan utama kehidupan. Jalan atau cara untuk mencapai kebahagiaan adalah arete (kebajikan). Orang yang bajik adalah orang yang mampu hidup bahagia.
- POKOK-POKOK PEMIKIRAN SOKRATES
- Ajaran bahwa semua kebenaran itu relatif telah menggoyangkan teori-teori sains yang telah mapan, mengguncangkan keyakinan agama. Ini menyebabkan kebingungan dan kekacauan dalam kehidupan. Inilah sebabnya Socrates bangkit. Ia harus meyakinkan orang Athena bahwa tidak semua kebenaran itu relatif, ada kebenaran umum yang dapat dipegang oleh semua orang. Sebagian kebenaran memang relatif, tetapi tidak semuanya.
Cara sokrates memberikan ajarannya adalah ia mendatangi orang dengan bermacam-macam latar belakang mereka, seperti: ahli politik, pejabat, tukang dan lain-lain. Metode itu bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan. Ia menganalisis pendapat-pendapat. Setiap orang mempunyai pendapat mengenai salah dan tidak salah, adil dan tidak adil, berani dan pengecut, dsb. Socrates selalu menanggapi jawaban pertama sebagai hipotesis dan dengan jawaban-jawaban lebih lanjut dan menarik konsekuensi-konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban-jawaban tersebut. Jika ternyata hipotesis pertama tidak dapat dipertahankan, karena menghasilkan konsekuensi yang mustahil, maka hipotesis itu diganti dengan hipotesis lain, lalu hipotesis kedua ini diselidiki dengan jawaban-jawaban lain, dan begitu seterusnya.
Dengan cara bekerja yang demikian itu Socrates menemukan suatu cara berfikir yang disebut induksi, yaitu: menyimpulkan pengetahuan yang sifatnya umum dengan berpangkal dari banyak pengetahuan tentang hal khusus. Misalnya: banyak orang yang menganggap keahliannya (tukang besi, tukang sepatu, pemahat, dll) sebagai keutamaannya. Seorang tukang besi berpendapat, bahwa keutamaannya adalah jikalau ia membuat alat-alat dari besi yang baik. Seorang tukang sepatu menganggap sebagai keutamaanya, jikalau ia membuat sepatu yang baik. Demikian seterusnya. Untuk mengetahui apakah “keutamaan” pada umumnya, semua sifat khusus keutamaan-keutamaan yang bermacam-macam itu harus disingkirkan. Tinggallah keutamaan yang sifatnya umum. Demikianlah dengan induksi itu sekaligus ditemukan apa yang disebut definisi umum. Definisi umum ini pada waktu itu belum dikenal. Socrateslah yang menemukannya, yang ternyata penting sekali bagi ilmu pengetahuan. Bagi Socrates definisi umum bukan pertama-tama diperlukan bagi keperluan ilmu pengetahuan, melainkan bagi etika. Yang diperlukan adalah pengertian-pengertian etis, seperti umpamanya: keadilan, kebenaran, persahabatan dan lain-lainya.
- Allah yang tunggal sebagai ganti Allah-Allah ilahi, banyak kali, dalam bentuk tunggal ho theos, sang Allah ketimbang dalam bentuk jamak hoi theoi, dewa-dewa negara. Dia menolak untuk menerima pandangan normal mengenai dewa-dewa yang satu sama lain berperang ketika terlibat urusan ilahi atau urusan insani atau ketika bersangkut paut dengan perkara etis. Pertengkaran dan permusuhan timbal balik antar para dewa akan diakhiri hanya dengan menetapkan apa hakikat atau bentuk dari segala perkara etis, terlepas dari penilaian berat sebelah yang dibuat masing-masing dewa.
- Hakikat Segala Sesuatu
Sepperti telah ditunjukkan, apa yang menjadi perhatian utama Sokrates adalah hakikat segala sesuatu, realitas pamungkas segala sesuatu, sesuatu pada dan dalam dirinya sendiri yang membuat sesuatu itu sesuatu. Dia merumuskan permasalahan sedemikian rupa, “apakah sesuatu yang saleh itu dikasihi para dewa?. Apa yang pada hakikatnya diselidiki Sokrates adalah realitas dan konsep yang memayungi setiap hal, di dalam mana perkara-perkara etis, filosofis, dan teologis menyatu. Karena itu dalam pandangannya yang ilahi atau yang saleh dan yang adil saling berpotongan, dan salah satu di antaranya, yakni keadilan, adalah entitas yang umum dan lebih luas yang menyelimuti dan menyerap yang lainnya. Dengan demikian, setiap orang yang melakukan keadilan adalah orang yang bertuhan. Dengan taat asas, Plato yang menggambarkan Sokrates sebagai seorang yang taat secara keagamaan dan adil secara etis.
- Socrates juga mengatakan bahwajiwa manusia bukanlah nafasnya semata-mata, tetapi asas hidup manusia dalam arti yang lebih mendalam. Jiwa itu adalah intisari manusia, hakekat manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab. Oleh karena jiwa adalah intisari manusia, maka manusia wajib mengutamakan lebahagiaan jiwanya (eudaimonia = memiliki daimon atau jiwa yang baik), lebih dari pada kebahagiaan tubuhnya atau kebahagiaan yang lahiriah, seperti umpamanya: kesehatan dan kekayaan. Manusia harus membuat jiwanya menjadi jiwa yang sebaik mungkin. Jikalau hanya hidup saja, hal tersebut belum ada artinya. Pendirian Socrates yang terkenal adalah “Keutamaan adalah Pengetahuan”. Keutamaan di bidang hidup baik tentu menjadikan orang dapat hidup baik. Hidup baik berarti mempraktekkan pengetahuannya tentang hidup baik itu. Jadi baik dan jahat dikaitkan dengan soal pengetahuan, bukan dengan kemauan manusia.
Pada bagian kisah terakhir dalam hidup Socrates, dimana ia menyampaikan pandangan tentang apa yang terjadi sesudah mati, ia benar-benar yakin pada imortalitas. Seperti dalam cuplikan pidato penutup Socrates setelah dia dijatuhi hukuman mati:
“Dan sekarang wahai orang-orang yang telah menghukumku, ingin kuramalkan nasib kalian; sebab sebentar lagi aku mati, dan saat-saat menjelang kematian manusia dianugerahi kemampuan meramalkan. Dan kuramalkan kalian, para pembunuhku, bahwa tak lama sesudah kepergianku maka hukuman yang jauh lebih berat daripada yang kalian timpakan kepadaku pasti akan menantimu… jika kalian menyangka bahwa dengan membunuh seseorang kalian dapat menjegal orang itu sehingga tak mengecam hidup kalian yang tercela, kalian salah duga; itu bukan jalan keluar terhormat dan membebaskan; jalan paling mudah dan bermartabat bukanlah dengan memberangus orang lain, namun dengan memperbaiki diri kalian sendiri. Kematian mungkin sama dengan tidur tanpa mimpi –yang jelas baik- atau mungkin pula berpindahnya jiwa ke dunia lain. Dan adakah yang memberatkan manusia jika ia diberi kesempatan untuk berbincang dengan Orpheus, Musaeus, Hesiodus, dab Homerus? Maka, sekiranya hal ini benar, biarlah aku mati berulang kali. Di dunia lain itu mereka tak akan menghukum mati seseorang hanya karena suka bertanya: tentu tidak. Sebab kecuali sudah lebih berbahagia daripada kita saat ini, mereka yang di dunia lain itu abadi, sekiranya apa yang sering dikisahkan itu benar… “
Dari uraian pidato penutup diatas, Socrates telah percaya bahwa ada kehidupan setelah mati, dan mati merupakan perpindahan jiwa manusia ke dunia selanjutnya. Orang mati hanya meninggalkan jasad. Socrates berpendapat bahwa ruh itu telah ada sebelum manusia, dalam keadaan yang tidak kita ketahui. Kendatipun ruh itu telah bertali dengan tubuh manussia, tetapi diwaktu manusia itu mati, ruh itu kembali kepada asalnya semua.
- KESIMPULAN
- Socrates membawa pengaruh yang sangat besar pada masanya. Sokrates menyadarkan orang-orang yang pada saat itu mengalami keputusasaan atas ilmu pengetahuan.
- Filsafat yang ada pada zaman itu lebih membahas tentang manusia, etika, moral dan politik. Terdapat perbedaan antar filsafat keduanya, yaitu dimana pemikiran menurut kaum sofis kebenaran adalah relative; sedangkan menurut Socrates ada kebenaran yang objektif dan juga universal.
- Mazhab sofis yang tergolong aliran relativisme itu juga memiliki pengaruh yang positif pada zaman itu dimana melahirkan generasi muda yang pandai dan terampil dalam pidato. Seiring dengan perkembangan filsafat waktu itu pula banyak tokoh sofis yang menyalahgunakan peranannya. Sehingga dalam kajian filsafatnya bukan mencari suatu kebenaran yang mutlak namun hanya mencari kemenangan semata. Sesuai dengan ajaran pokok dari alirannya. Sangat berbeda jauh dengan peranan Socrates, yang mana socrates ingin mencari suatu kebenaran, keadilan, dan etika yang sebenarnya ada. Bukan karena suatu kemenangan dalam berdebat namun mencari jawaban yang sebenarnya atas pertanyaan yang ada dibenaknya serta masyarakat Athena waktu itu.
- Socrates dalam filsafatnya mencari pula tentang keadilan yang telah pudar karena doktrin-doktrin kaum sofisme.
PLATO
(427 SM – 347 SM)
- Latar Belakang Munculnya Plato Dengan Pemikiran Filsafatnya
Tokoh satu ini dikenal sebagai seorang filsuf terbesar dan juga matematikawan. Ia adalah murid setia Socrates dan guru Aristoteles. Ia juga mencatat keberadaan dari salah satu benua Atlantis yang hilang. Plato dilahirkan di Atena pada tahun 427 S.M. dan meninggal disana pada tahun 347 S.M. dalam usia 80 tahun. Ia berasal dari keluarga aristokrasi yang turun-temurun memegang politik penting dalam politik Atena.
Ia mendirikan sebuah sekolah di tempat asalnya yang diberi nama “Akademia”. Sokrates menilai Plato sebagai muridnya yang termasyur. Dari sebab itu, pemikiran Plato dalam seminar-seminarnya selalu diikuti oleh Sokrates. Cita-cita besar Plato adalah mengajarkan filsafat kepada semua orang, terutama kepada orang-orang muda. Keinginan itu mendorong dia untuk mendirikan perguruan tinggi yang pertama, yang boleh dianggap sebagai pelopor lahirnya universitas-universitas pada Abad Pertengahan dan zaman modern. Ia adalah murid Socrates. Pemikiran Plato pun banyak dipengaruhi oleh Socrates. Plato adalah guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling terkenal ialah Republik (dalam bahasa Yunani Politeia, “negeri”) yang di dalamnya berisi uraian garis besar pandangannya pada keadaan “ideal”. Dia juga menulis ‘Hukum’ dan banyak dialog di mana Socrates adalah peserta utama.
Plato mempunyai kedudukan yang istimewa sebagai seorang filosof. Ia pandai menyatukan puisi dan ilmu., seni dan filosofi. Pandangan yang dalam dan abstrak sekalipun dapat dilukiskannya dengan gaya bahasa yang indah. Tidak ada seorang filosof sebelumnya dapat menandinginya dalam hal ini.
Menurut sejarah bahwa Plato hidup dalam suatu periode gelap kehidupan politik Athena. Ia lahir pada masa pemerintahan otoriter dan militer sparta yang menghancurkan kebesaran dan masa jaya Athena di bawah Perikles melalui perang Pelopponesus. Plato banyak memunculkan persoalan – persoalan yang menyangkut kehidupan moral dan politik. Filsafat politik Plato membahas tentang segi kehidupan manusia dalam hubungan dengan negara. Bagi Plato, manusia dan negara memiliki persamaan yang hakiki, oleh sebab itu apabila negaranya baik berarti manusianya baik. Begitu juga sebaliknya, jika negara buruk maka manusianya pun buruk. Negara adalah pencerminan dari manusia yang menjadi warganya.
Plato adalah seorang filosof yang memiliki peringkat terpanjang sepajang masa. Berbagai tulisan karya Plato merupakan sumber terbaik dan terpercaya. Semua karyanya berbentuk dialog, beberapa diantaranya memang ada yang berbentuk monolog virtual yang dibubuhi ungkapan kata seru. Interpretasi terhadap karya Plato tersebut sebagai bukti bahwa pandangan Plato sendiri bukanlah persoalan mudah. Pada dasarnya gagasan – gagasan Plato semua konsekuensi generiknya banyak memunculkan reaksi dan diskusi, khususnya gagasan kontroversial yang diprakarsai oleh para pemikir yang dikenal atau menamakan diri kaum postmodernis. Kelompok terakhir ini merupakan kelompok yang anti terhadap pola berfikir yang mendasarkan diri pada subjek (pelaku), gagasan tentang esensi, kesadaran dan kebenaran mutlak.
Pada dasarnya Plato hanya mewarisi filsafat Sokrates, yang mana hanya mengenal nilai kesusilaan yang menjadi norma atau aturan dalam diri dan kehidupan manusia. Setelah Sokrates meninggal pada (399 SM) merupakan permulaan ia mengembara selama dua belas tahun. Ia pergi ke Megara dan menetap disitu, dirumah sahabatnya yang bernama Euklides. Disini ia mengarang dialog mengenai berbagai macam pengertian dalam masalah hidup, berdasarkan ajaran Sokrates.
Setelah menetap di Megara, ia pergi ke Kyrena, di sana ia memperdalam pengetahuan tentang matematik pada seorang guru ilmu yang bernama Theodoros. Namun Plato juga mengajarkan filosofi dan mengarang buku. Kemudian ia pergi ke Italia selatan dan terus ke sirakusa dipulau sisiria, yang pada waktu itu diperintah oleh seorang tiran, yang bernama Dionysios. Dionysios mengajak plato tinggal di istananya.
Ia merasa bangga diantara orang-orang yang mengelilinginya terdapat pujangga dari dunia Grik yang kesohor namanya. Disini Plato belajar kenal dengan ipar radja Dionysios yang masih muda bernama Dion, yang akhirnya menjadi sahabat karibnya. Diantara mereka berdua terdapat kata sepakat, supaya Plato mempengaruhi Dionysios dengan ajaran filosofinya, agar tercapai suatu perbaikan sosial. Seolah-olah datang baginya untuk melaksanakan teorinya tentang pemerintah yang baik dalam praktik. Sudah lama tertanam di dalam kalbunya, bahwa kesengsaraan di dunia tidak akan berakhir sebelum filosof menjadi raja atau raja-raja menjadi filosof. Tetapi ajaran plato yang dititik-beratkan kepada pengertian moral dalam segala perbuatan. Di sinilah kesempatan baik Plato dalam mewujudka keinginannya untuk menerapkan dan mempraktikan ajaran filsafat dalam pemerintahan sesungguhnya. Ia berpendapat bahwa kesengsaraan di dunia tidak akan berakhir, sebelum filosof menjadi raja atau raja menjadi filosof.
Pada akhirnya filsafat Plato membuat bosan Dionysios. Filsafat Plato dituding membahayakan bagi kerajaan. Akhirnya Plato ditangkap dan dijual sebagai budak di pasar, namun ia terkenal sebagai bekas murid dari Annikeris, dan kemudian ditebusnya. Peristiwa ini diketahui oleh sahabat dan pengikut Plato di Athena. Kemudian mereka mengumpulkan uang untuk mengganti harga penebus yang dibayar oleh Annikeris. Tapi, Annikeris menolak pergantian uang tersebut, dan akhhirnya uang tersebut digunakan untuk membeli sebidang tanah dan dijadikan lingkungan sekolah atau pondok yang sekitarnya terdapat kebun yang indah. Tempat itu diberi nama “Akademia”, dan disinilah sejak umur 40 tahun sampai meninggalnya umur 80 tahun, Plato menngajarkan filsafatnya dan mengarang tulisan – tulisan sepanjang masa.
Plato menggunakan metode dialog sebagaimana Sokrates, dalam mengantarkan filsafatnya. Sistem tanya jawab diterapkannya kepada murid – muridnya. Suatu soal jawab dipecahkan bersama – sama oleh kelompok seorang murid, dan memberikan soal jawab kepada kelompok lain untuk menjawab soal baru, seperti itulah salah satu metodenya, yang diajarkan di akademia.
Tatkala seorang muridnya merayakan pernikahannya, Plato yang sudah berumur 80 tahun datang juga pada malam perjamuan itu. ia turut riang dan gembira setelah agak larut malam, ia mengundurkan diri kepada suatu sudut yang sepi dalam rumah itu. disana ia tertidur dan tidur untuk selama-lamanya dengan tiada bangkit lagi. Esok harinya seluruh Atena mengantarkannya ke kubur. Plato tidak pernah menikah dan tidak punya anak. Kemenakannya Speusippos menggantikannya mengurus Akademia.
- POKOK-POKOK PEMIKIRAN PLATO
- Pendapatnya tentang idea
Pemikiran yang dicetuskan dari filosofi Plato ialah pendapatnya tentang idea. Ini merupakan suatu ajaran yang sangat sulit memahaminya. Salah satu sebab ialah bahwa pahamnya tentang idea selalu berkembang. Bermula idea itu dikemukakan sebagai teori logika. Stelah itu teori tentang idea meluas menjadi pandangan hidup, serta menjadi dasar umum bagi ilmu, politik, sosial dan pandangan agama. Menurut Plato, idea ialah realitas yang sebenarnya dapat dikenali oleh panca indera apabila dari segala sesuatu yang ada. Baginya kehidupan semua ini merupakan bayangan dari dunia idea. Dunia lahir dari dunia pengalaman yang selalu berubah – ubah dan berwarna – warni.
Menurut Plato, idea bukan pengertian jenis saja, namun juga bentuk dari keadaan yang sebenarnya. Idea bukanlah suatu pikiran, melainkan suatu realita. Pendapat Parmenides tentang adanya yang satu kekal, dan tidak berubah-ubah. Tetapi ada yang baru dalam ajaran Plato ialah pendapatnya tentang suatu dunia yang tidak bertubuh. Idea itu tempatnya ada di dalam dunia yang lain. Semua pengetahuan adalah tiruan dari yang sebenarnya, sesuatu yang ada dalam jiwa sebagai ingatan pada dunia yang asal. Jiwa merupakan penghubung antara dunia idea dan dunia bertubuh.
Dunia yang bertubuh adalah pandangan dan pengalaman yang dapat diketahui dan dirasakan oleh tubuh, seperti halnya panca indera. Dalam semua itu semuanya bergerak dan berubah senantiasa, tidak ada yang tetap dan kekal. Sedangkan dunia idea adalah dunia khayalan atau realita.
- Asal Mula Pembentukan Negara
Menurut Plato asal mula tebentuknya suatu negara karena adanya keinginan dan kebutuhan yang dapat terpenuhi apabila mereka bersatu dan bekerja sama, agar keterbatasan atau kekurangan mereka dapat terpenuhi. Maka dari itu sistem pelayanan dalam suatu negara harus dapat bertanggung jawab, saling membantu, menerima dan memberi serta dpat memperhatikan kebutuhan antar manusia. Dengan demikian bahwa negara ideal Plato bukanlah negara khayalan.
Plato menyaksikan betapa negara menjadi rusak dan buruk akibat penguasa yang korup, sedangkan bagi Plato negara dan manusia memiliki persamaan. Maksudnya adalah masalah molaritas harus di utamakan serta menjadi hakiki di dalam negara. Begitu juga manusia dalam menjadi penguasa di Negara. Plato yang dipengaruhi oleh Sokrates menempatkan kebajikan dan kebaikan sebagai ide yang tertinggi. Dari beberapa filsuf menarik kesimpulan dari Plato, bahwa Negara ideal adalah suatu komunitas etikal untuk mencapai kebajikan dan kebaikan itu. Salah satu penyebab Plato yang membuatnya menjadi seorang yang aristokrat yang kritis terhadap demokrasi adalah pecahnya perang Peloponesos, yang pada saat itu Plato menyaksikannya sendiri pada umur ke dua puluh tiga tahun, bahwa Athena kalah dari Sparta. Pada masa Athena yang berada dalam pemerintahan demokratis, dari sinilah pemerintahan demokratis yang tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat dibidang politik, moral, dan spiritual.
- Tujuan Fungsi dan Tugas Negara
Tujuan dalam negara bagi Plato adalah untuk menciptakan kesenangan dan kebahagiaan, oleh sebab itu maka tugas negara adalah mengupayakan kesenangan manusia bisa tercipta, dengan menggunakan sistem pelayanan, dari rakyat untuk rakyat. Sedangkan fungsi negara adalah memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan manusia dalam bernegara.
- Bentuk-bentuk Negara
Plato mengemukakan bahwa bentuk negara ada lima, sebagaimana sesuai dengan kondisi jiwa manusia. Plato mengatakan :
. . . if there are five kinds of contitutions, there should be five conditions of soul of private men.
. . . jika ada lima macam bentuk (negara), seyogyanya ada lima kondisi jiwa manusia pribadi.
Dari lima bentuk negara ini tersusun atas beberapa tahap, diantaranya :
- Aristokrasi, ialah bentuk negara yang sempurna, yang dipimpin oleh seorang cendekiawan.
- Timokrasi, ialah bentuk negara yang lebih mengutamakan kepentingan sendiri untuk mendapatkan kehormatan yang besar.
- Oligarki, ialah bentuk negara yang ingin memperkaya diri dan menimbun harta sebanyak – banyaknya.
- Demokrasi, ialah bentuk negara yang mengutamakan kepentingan rakyat, dan memperhatikan kebebasan dan kemerdekaannya.
- Tirani, ialah bentuk negara yang tidak lagi melindungi rakyat, dan sebaliknya akan menindas rakyat.
- Pembagian Kelas Dalam Negara
Menurut Plato negara ideal terbagi menjadi tiga, sebagaimana sama dengan pembagian jiwa manusia, yang dikenal dengan nama “ Plato’s Tripartite Theory of the Soul “ ( Teori Plato tentang tiga bagian jiwa ). Kesamaan dari tiga pembagian ini dihubungkan oleh Plato sebagai berikut :
- Kelas penasehat/pembimbing (counsellor) ialah para cendekiawan atau para filsuf, yang sejajar dengan fikiran/akal manusia (nous).
- Kelas pembantu (the state-assistants) ialah militer, yang sejajar dengan semangat/keberanian (thumos).
- Kelas penghasil (money makers), ialah para petani, pengusaha dan lainnya, yang sejajar dengan keinginan/kebutuhan (Epithuma).
- KARYA-KARYA PLATO
- Otentisitas
Daftar ini menyebutkan 36 karya Plato (surat-surat dihitung sebagai satu karya) yang terbagi atas 9, ”tetralogis” (grup yang meliputi empat karya). Kebanyakan ahli sepakat mengatakan bahwa dari 36 karya itu ada enam dialog yang tidak dapat dianggap otentik, yaitu: Alkibiadês II, Hipparkhos, Erastai, Theagês, Klitophôn, Minos. Dan ada enam karya lain lagi yang otentisitasnya dipersoalkan: Alkhiadês I, Iôn, Menexênos, Hippias Maior, Epinomis, Surat-surat.
Surat-surat ini merupakan dokumen-dokumen utama yang utama yang masih dimiliki. Sekarang ini kebanyakan sejarawan menerima surat VI, VII,dan VIII sebagai otentik. Otentisitas Surat I secara umum ditolak dan Surat XII sangat diragukan. Namun, semua itu merupakan dokumen-dokumen utama yang kita miliki mengenai riwayat hidup Plato.
- Kronologi
Apabila kita berhasil menentukan suatu urutan kronologis bagi karangan-karangan Plato, mungkin terbuka jalan untuk menyelidiki apakah terdapat suatu perkembangan dalam pemikiran Plato, sebab jika urutan kronologis itu tidak dapat dipastikan, penyelidikan mengenai perkembangan dalam pemikiran Plato tidak mempunyai dasar yang teguh dan tidak dapat melebihi dari taraf dugaan saja. Dengan menyelidiki secara terperinci gaya bahasa yang digunakan dalam dialog-dialog Plato, para sarjana menentukan bahwa sekelompok dialog (Sophistês, Politikos, Philebos, Timaios, Kritias, Nomoi) telah dikarang dalam periode lain daripada dialog-dialog lain. Keenam dialog ini disimpulkan, ditulis Plato dalam periode terakhir hidupnya. Dialog-dialog Plato dibagi atas tiga periode:
- Apologia, Kritôn, Eutyphrôn, Lakhês, Kharmidês, Lysis, Hippias Minor, Menôn, Gorgias, Protagoras, Euthydêmos, Kratylos, Phaidôn, Symposion. (Beberapa ahli menyangka bahwa salah satu dari dialog-dialog ini sudah ditulis sebelum kematian Sokrates , tetapi kebanyakan berpikir bahwa dialog pertama ditulis tidak lama sesudah kematian Sokrates).
- Politeia, Phaidros, Parmenidês, Theaitêtos (Theaitêtos dan parmenidês ditulis tidak lama sebelum perjalanan kedua ke Sisilia, tahun 367).
- Sophistês, Politikos, Philebos, Timaios, kritias, Nomoi (Dialog-dialog ini ditulis sesudah perjalanan ketiga ke Sisilia, ketika urusannya dengan kesulitan-kesulitan politik di Sisilia sudah selesai).
- KESIMPULAN
- Plato adalah murid Sokrates yang begitu mengagumi sokrates, higga ia ingin menghidupkan ideology dan filsafat plato. Ia menjadi saksi atas apa yang diusahakan oleh Sokrates, yaitu menyadarkan kembali masyarakat Athena, kaum muda terutama untuk berfikir secara logis, menggunakan akal pikirannya untuk berfikir. Hingga akhirnya begitu besar pengaruh Sokrates atas dirinya, hingga meneruskan apa yang telah diusahakan oleh gurunya. Sehingga bias dikatakan, apa yang diusahakan oleh Sokrates, benar-benar mempengaruhi Plato. Setelah Sokrates membuat banyak orang mulai sadar akan pentingnya berfilsafat dan menggunakan logika dalam berfikir yang tidak hanya retorika semata melainkan mengacu pada kebenaran, maka Plato bertujuan untuk mengaplikasikan apa yang telah didapatnya dari gurunya itu, yaitu membuat sebanyak mungkin orang-orang yang berfilsafat, maka ia mendirikan sekolah untuk pertama kalinya yaitu “Akademia”.
- filsafat Plato yang terpenting adalah pemikiran dia tentang Negara dimana dalam tiap-tiap Negara, segala golongan dan semua orang adalah alat semata-mata untuk kesejahteraan semuanya. Dan untuk mencapai kesejahteraan yang sempurna perlu dengan ide di mana ide adalah sesuatu yang objektif yang mana ide ide tersebut tidak diciptakan oleh pemikiran kita melainkan pemikiran kitalah yang tergantung pada ide-ide karna ide-ide itu berdiri sendiri dan terlepas dari subjek. Tanpa dengan ide segala sesuatu akan sulit untuk menepuh jalan kebenaran karna kecerdasan itu timbul dari kecerdasan cara kita berfikir.
- kemudian Plato juga melihat keadaan Athena dan Sparta pada saat itu sehingga Plato banyak menyoroti masalah kenegaraan, tentang bagaimana menciptakan Negara yang baik, menurut Plato negara yang baik harus dipimpin oleh seorang filosof, hingga ia menulis buku Republic, buku ini merupakan salah satu karya Plato yang sangat terkenal dan membawa pengaruh yang besar.
- Plato benar-benar mencoba banyak cara untuk mengaplikasikan filsafatnya dalam setiap bidang termasuk politik, Plato juga mendekati banyak penguasa-penguasa pada saat itu dan mencoba memasukkan filsafatnya.
ARISTOTELES
(384 SM – 322 SM)
- BIOGRAFI :
- Aristoteles lahir di Stageria di Semenanjung Kalkidike, Trasia (Balkan) pada tahun 384 SM., dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 SM., di usianya ke-63. Bapaknya adalah seorang dokter dari raja Macedonia, Amyntas II. Sampai usia 18 tahun ia mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya tersebut.
- Setelah sang ayah meninggal, Aristoteles pergi ke Athena dan berguru kepada Plato di Akademia. 20 tahun lamanya ia menjadi murid Plato. Ia rajin membaca dan mengumpulkan buku sehingga Plato memberinya penghargaan dan menamai rumahnya dengan ‘rumah pembaca’.
- GURUNYA:
- Aristoteles sependapat dengan gurunya (Plato), bahwa tujuan yang terakhir dari filsafat adalah pengatahuan tentang ‘adanya’ (realitas) dan ‘yang umum’. Ia memiliki keyakinan bahwa kebenaran yang sebenarnya hanya dapat dicapai dengan jalan pengertian. Bagaimana memikirkan ‘adanya’ itu? Menurut Aristoteles ‘adanya’ itu tidak dapat diketahui dari materi atau benda belaka; dan tidak pula dari pikiran semata-mata tentang yang umum, seperti pendapat Plato. ‘Adanya’ itu terletak dalam barang-barang satu-satunya, selama barang itu ditentukan oleh yang umum.
- Aristoteles memiliki pandangan yang lebih realis daripada Plato. Pandangannya ini merupakan akibat dari pendidikan orang tuanya yang menghadapkannya kepada bukti dan kenyataan. Aristoteles terlebih dahulu memandang kepada yang kongkrit, yang nyata. Ia mengawalinya dengan fakta-fakta, dan fakta-fakta tersebut disusunnya menurut ragam dan jenis atau sifatnya dalam suatu sistem, kemudian dikaitkannya satu sama lain.
- POKOK-POKOK PEMIKIRANNYA:
- Logika :
- Aristoteles terkenal sebagai ‘bapak’ logika. Logika tidak lain dari berpikir secara teratur menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab dan akibat. Ia sendiri memberi nama model berpikirnya tersebut dengan nama ‘analytica’, tetapi kemudian lebih populer dengan dengan sebutan ‘logika’.
- Intisari dari ajaran logikanya adalah silogistik, atau dapat juga digunakan kata ‘natijah’ daalam bahasa Arab. Silogistik maksudnya adalah ‘uraian berkunci’, yaitu menarik kesimpulan dari pernyataan yang umum atas hal yang khusus, yang tersendiri. Misalnya: Semua manusia akan mati (umum); Aristoteles adalah seorang manusia (khusus); Aristoteles akan mati (kesimpulan). Pertimbangan ini, yang berdasarkan kenyataan umum, mencapai kunci keterangan terhadap suatu hal, yang tidak dapat disangkal kebenarannya.
- Pengetahuan yang sebenarnya, menurut Aristoteles, berdasar pada pembentukan pendapat yang umum dan pemakaian pengetahuan yang diperoleh itu atas hal yang khusus. Misalnya, ‘korupsi itu buruk’; untuk membuktikan pernyataan yang sifatnya umum tersebut dapat diperoleh dari kasus yang menunjukkan bahwa ‘korupsi itu ternyata telah merugikan negara dan kesejahteraan warga negara’. Pengetahuan yang umum bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi merupakan jalan untukmengetahui keadaan yang konkrit, yang merupakan tujuan ilmu yang sebenarnya.
- Pengalaman, menurut Aristoteles, hanya menyatakan kepada kita ‘apa yang terjadi’; sedangkan pengertian umum menerangkan ‘apa sebab itu terjadi’. Pengertian ilmiah mencari yang umumnya, karena itu diselidikinya sebab-sebab dan dasar-dasar dari segala yang ada. Memperoleh pengertian, yaitu menarik kesimpulan atas suatu hal yang individual, yang spesifik, yang tersendiri, yang particular, dari yang umum, dapat dipelajari dan diajarkan caranya kepada orang lain.
- Aristoteles membagi logika dalam tiga bagian, yaitu mempertimbangkan, menarik kesimpulan, dan membuktikan atau menerangkan. Suatu pertimbangana itu ‘benar’, apabila isi pertimbangan itu sepadan dengan keadaan yang nyata. Pandangan ini sepadan dengan pendapat Sokrates yang menyatakan bahwa ‘buah pikiran yang dikeluarkan itu adalah gambaran dari keadaan yang objektif’.
- Menarik kesimpulan atas yang satu dari yang lain dapat dilakukan dengan dua jalan. Pertama, dengan jalan silogistik, atau disebut juga apodiktik, atau deduksi. Kedua, menggunakan cara epagogi atau induksi. Induksi bekerja dengan cara menarik kesimpulan tentang yang umum dari pengetahuan yang diperoleh dalam pengalaman tentang hal-hal yang individiil atau partikular.
- Realitas:
- Menurut Aristoteles, realitas yang objektif tidak saja tertangkap dengan ‘pengertian’, tetapi juga sesuai dengan dasar-dasar metafisika dan logika yang tertinggi. Dasar metafisika dan logika tersebut ada tiga. Pertama, semua yang benar harus sesuai dengan ‘adanya’ sendiri. Tidak mungkin ada kebenaran kalau di dalamnya ada pertentangan. Keadaan ini disebut sebagai hukum identika. Kedua, apabila ada dua ‘pernyataan’ tentang sesuatu, di mana yang satu meng’ia’kan dan yang lain menidakkan, tentu hanya satu yang benar. Keadaan ini disebut hukum penyangkalan. Ketiga, antara dua pernyataan yang bertentangan ‘mengiakan dan meniadakan’, tidak mungkin ada pernyataan yang ketiga. Keadaan ini disebut hukum penyingkiran yang ketiga.
- Menurut Aistoteles, ‘adanya’ yang sebenarnya adalah ‘yang umum’ dan pengetahuan tentang hal tersbut adalah ‘pengertian’. Dalam hal ini pendapatnya sama dengan Plato. Adapun yang ditentang dari pendapat Plato adalah adanya perpisahan yang absolut antara yang umum dan yang khusus, antara idea dan gambarannya, antara pengertian dan pemandangan, dan antara ada dan menjadi.
- Idea, ‘yang umum’, adalah sebagai ‘adanya’ yang sebenar-benarnya, sebab dari segala kejadian. Ilmu harus menerangkan, bagaimana datangnya hal-hal yang khusus dan kelihatan itu dari yang umum yang diketahui dengan pengertian. Tugas ilmu adalah ‘menyatakan’, bahwa menurut logika pendapat yang khsusus (dari pengalaman) tidak boleh tidak datang dari pengetahuan pengertian yang umum.
- Metafisika:
- Metafisika Aristoteles berpusat pada persoalan ‘barang’ (materi)dan ‘bentuk’. ‘Barang’ atau ‘materi’ dalam pengertian Aristoteles berbeda dengan pendapat umum tentang materi. Barang adalah materi yang tidak mempunyai ‘bangun’, substansi belaka, yang menjadi pokok segala-galanya. ‘Bentuk’ adalah ‘bangunnya’. Barang atau materi tidak mempunyai sifat yang tertentu, karena tiap-tiap penentuan kualitatif menunjukkan bentuknya. Marmer misalnya bukanlah benda, melainkan materi untuk memperoleh bentuk tertentu seperti tonggak marmar, patung marmar, meja marmar, dan seterusnya.
- Barang atau materi adalah sesuatu yang dapat mempunyai bentuk ini dan itu. Barang atau materi hanya ‘kemungkinan’ atau ‘potensia’. Bentuk adalah pelaksanaan dari kemungkinan itu, aktualita. Hal ‘yang umum’ terlaksana dalam’yang khusus’. Dengan ‘bentuk’ pikiran seperti itu, Aristoteles dapat memecahkan masalah yang pokok dalam filsafat teoritika Yunani, yaitu memikiran ‘adanya’ begitu rupa, sehingga dari ‘adanya’ dapat diterangkan proses ‘menjadi’ dan ‘terjadi’. ’Menjadi’ adalah pelaksanaan keadaan yang sebenarnya dalam kenyataan. Dipandang dari sudut tersebut, segala perubahan tak lain dari pembentukan materi, pelaksanaan sesuatunya yang sudah ada dalam kemungkinan.
- Ketika muncul pertanyaan: ‘bagaimana terjadi dari kemungkinan saja satu pelaksanaan?’. Jawaban Aristoteles adalah ‘dari sebab yang menggerakkan’. Sebab yang menggerakkan itu adalah Tuhan. Sebab-gerak yang pertama yang immaterial, tidak bertubuh, tidak bergerak, dan tidak digerakkan, cerdas sendirinya. Sebab-gerak yang pertama itu adalah Tuhan, Nus. Kepada Tuhan atau Nu situ Aristoteles memberikan segala sifat, yang diberikan oleh Plato kepada Idea Kebaikan, yaitu tetap selama-lamanya, tidak berubah-ubah, terpisah dari yang lain tetapi sebab dari segala-galanya. Nus ini disamakan pula dengan pikiran murni, pikir daripada pikir.
- Semua perubahan itu ada empat sebabnya yang Pertama,’barang’ atau ‘materi’ yang memungkinkn terjadi sesuatu atasnya, disebut sebab-barang. Kedua, bentuk, yang terlaksana di dalam barang, sebab-bentuk. Ketiga, sebab yang datang dari luar, disebut sebab-gerak. Keempat, tujuan, yang dituju oleh perubahan dan gerak, disebut seba-tujuan. Misa, rumah, mesti meliputi empat prinsip di atas. Materi atau barang, adalah seperti kayu, batu, besi, dan bahan lainnya. Bentuk, adalah pengertian rumah. Sebab-gerak ialah tukang pembuat rumah. Tujuan adalah rumah yang sudah jadi.
- Aristoteles berpendapat bahwa segala yang terjadi di dunia ini adalah suatu perbuatan yang terwujud karena Tuhan Pencipta alam. Selain itu, bahwa tiap-tiap yang hidup di ala mini merupakan suatu organism yang berkembang masing-masing menurut suatu gerak-tujuan. Alam tidak berbuat dengan tidak bertujuan. Oleh karena itu, Aristoteles dipandang sebagai pencetus ajaran tujuan, teleologi. Aristoteles dengan pandangannya ini telah meletakkan dasar bagi ‘prinsip perkembangan’.
- Filsafat alam :
- Alam meliputi semua yang berhubungan dengan materi dan badan-badan yang begerak dan diam. Karena waktu merupakan ukuran gerak terhadap yang dahulu dan yang kemudian, maka waktu menjadi tidak berhingga, tidak ada awalnya dan tidak ada akhirnya. Lebih dari itu dinyatakan bahwa alam ada untuk selama-lamanya.
- Seluruh alam adalah suatu organism yang besar, disusun oleh Tuhan Penggerak Pertama menjadi suatu kesatuan menurut tujuan yang tertentu.
- Dunia tersusun menurut tujuan yang tertentu dengan kedudukan makhluk yang bertingkat-tingkat. Dalam susunan yang bertingkat itu, yang rendah mengabdi dan memberikan jasa kepada yang di atasnya. Tanaman memberikan jasa kepada binatang, binatang kepada manusia, kaum perempuan kepada kaum laki-laki, dan badan kepada jiwa.
- Aristoteles mengemukakan ada tiga jenis jiwa yang berurutan sifat kesempurnaannya. Pertama, jiwa tanaman, yang tujuannya menghasilkan makanan dan melaksanakan pertumbuhan. Kedua, jiwa hewan, selain melaksanakan pertumbuhan, jiwa hewan mempunyai perasaan dan keinginan dan mendorong jiwa sanggup bergerak. Ketiga, jiwa manusia, yang selain dari mempunyai perasaan dan keinginan juga mempunyai akal.
- Bentuk jiwa yang sesuai bagi manusia menurut Aristoteles adalah roh atau pikiran. Ia membedakan dua macam roh, yaitu roh yang bekerja dan roh yang menerima. Apabila roh yang bekerja dapat member isi kepada roh yang menerima, maka lenyaplah yang kemudian ini. Roh yang bekerja memperoleh bentuknya yang sempurna. Selain itu, ada yang disebut roh praktis, yaitu roh yang mengemudikan kemauan dan perbuatan manusia.
- Berbeda dengan Demokritos dan Plato yang menyatakan bahwa pusat kemauan terletak di otak, menurut Aristoteles pusat kemauan itu terletak di hati.
- Etika:
- Etika Aristoteles pada dasarnya serupa dengan etika Sokrates dan Tujuannya adalah untuk mencapai eudaemonie, kebahagiaan sebagai ‘barang yang tertinggi’ dalam kehidupan. Hanya saja, ia memahaminya secara realis dan sederhana. Ia menekankan kepada kebaikan yang tercapai oleh manusia sesuai dengan jenisnya laki-laki atau perempuan, derajatnya, kedudukannya, atau pekerjaannya. Tujuan hidup adalah untuk merasakan kebahagiaan. Oleh karena itu ukurannya lebih praktis.
- Tujuan hidup bukanlah untuk mengetahui apa itu budi, tetapi bagaimana menjadi orang yang berbudi. Oleh karena itu, tugas dari etika adalah mendidik kemauan manusia untuk memiliki sikap yang pantas dalam segala perbuatan. Orang harus mempunyai pertimbangan yang sehat, tahu menguasai diri, pandai mengadakan keseimbangan antara keinginan dan cita-cita. Manusia yang tahu menguasai diri, hidup sebagaimana mestinya, tidak terombang-ambing oleh hawa nafsu, tidak tertarik oleh kemewahan.
- Aristoteles mengambil ajaran jalan tengah. Tiap-tiap budi perangai yang baik harus duduk sama tengah antara dua sikap yang paling jauh tentangnya, misalnya berani antara pengecut dan nekat; suka member antara kikir dan pemboros; rendah hati antara berjiwa budak dan sombong; hati terbuka antara pendiam dan pengobrol.
- Ada tiga hal yang perlu dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan hidup. Pertama, manusia harus memiliki harta secukupnya, supaya hidupnya terpelihara. Kedua, alat yang terbaik untuk mencapai kebahagiaan adalah persahabatan. Ketiga, keadilan. Keadilan dalam arti pembagian barang yang seimbang sesuai dengan tanggung jawab dan keadilan dalam arti memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan.
- Kebahagiaan akan menimbulkan kesenangan jiwa. Kesenangan jiwa ini akan mendorong seseorang untuk bekerja lebih giat
- Negara :
- Pelaksanaan etika baru akan sempurna apabila dilaksanakan di dalam negara. Manusia adalah zoon politikon, makhlukn sosial. Ia tidak dapat berdiri sendiri. Hubungan manusia dengan negara adalah sebagai bagian terhadap seluruhnya. Tujuan negara adalah mencapai keselamatan untuk semua penduduknya, memperoleh ‘barang yang tertinggi’, yaitu kebahagiaan. Keadilan adalah unsur negara yang esensil, untuk mencapai kebahagiaan.
- Kewajiban negara adalah mendidik rakyat berpendirian tetap, berbudi baik, dan pandai mencapai yang sebaik-baiknya.
- Aristoteles menentang adanya penumpukkan capital pada seseorang. Oleh karena itu ia mencela profesi pedagang. Ia sangat menentang tukar-menukar dengan cara riba. Ia bahkan menganjurkan supaya negara mengambil tindakan yang tepat untuk mepengaruhi penghidupan sosial, dan ukurannya adalah kepentingan yang sama tengah. Bagi Aristoteles, tiang masyarakat adalah kaum menengah yang berbudi baik.
- Menurut pendapatnya, ‘perbudakan adalah cetakan alam’; sebagian manusia ada yang lahir untuk menjadi tuan dan sebagian menjadi budak yang mengerjakan pekerjaan kasar. Perbudakan akan hilang apabila sudah terdapat alat otomtis yang melakukan pekerjaan dengan sendirinya.
- Aristoteles mengemukakan tiga bentuk negara. Pertama, monarki atau basilea. Kedua, aristokrasi, yaitu pemerintahan oleh orang-orang yang sedikit jumlahnya. Ketiga, Politea atau timokrasi, yaitu pemerintahan berdasarkan kekuasaan keseluruhan rakyat. Dalam istilah sekarang disebut demokrasi. Dari tiga bentuk negara tersebut, yang terbaik menurutnya adalah kombinasi antara aristokrasi dan demokrasi. Kombinasi antara aristokrasi dan demokrasi adalah yang sebaik-baiknya. Dalam pandangan ini ternyata Aristoteles pun mengambil jalan tengah.
- KESIMPULAN
- Aristoteles dilahirkan di Stageira, yunani utara pada tahun 384 SM. Ayahnnya seorang dokter pribadi raja Macedonia Amyntas. Karena hidupnya diingkungan istana, ia mewarisi keahliannya dalam pengetahuan empiris dari ayahnya.
- Meskipun selama 20 tahun menjadi murid plato, namun ia menolak ajarannya tentang IDEA. Dan pendekatan Aristoteles adalah empiris. Diantara karya-karyanya adalah: tentang logika, filsafat alam, psikologi, biologi metafisika, politik dan ekonomi, serta retorika dan poetika.
- Bisa dikatakan bahwa Aristoteles adalah buah dari Benih filsafat yang ditanamkan oleh Sokrates, yang dibesarkan oleh Plato kemudian jadilah Aristoteles seorang filsof besar, yang membuahkan begitu banyak karya dalam berbagai bidang, mulai dari Logika, metafisika, filsafat alam sampai Etika dan Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Beoang, Dr. Konkrad Kebung, SUD. Plato Menuju Pengetahuan yang Benar. Penerbit Kanisius, Yogyakarta : 1997
- J.H. Rapar, Th.D., Ph.D, Filsafat Politik Plato, Rajawali,. Jakarta. 1991
Hakim, Drs, Atang Abdul, M.A. dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Umum dari Teologi sampai Teofilosofi. CV Pustaka Setia. Bandung : 2008.
Hatta, Muhammad. Alam Pikirian Yunani. UI Press. Jakarta : 2011
Melling, David. Jejak Langkah Pemikiran Plato. Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta: 2002
Rakhmat, Ioanes. Sokrates dalam tetralogi Plato sebuah pengantar dan terjemahan teks. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta : 2009
Russels, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman kuno hingga sekarang. Pustaka Pelajar. Yogyakarta : 2002
Taqi Mishbah Yazdi, Muhammad. Buku Daras Filsafat Islam. Penerbit Mizan. Bandung : 2003
Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual. Kanisius. Yogyakarta : 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar