”Bagi pohon masih ada harapan: apabila ditebang, ia bertunas
kembali . . . Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi?”—MUSA,
SEORANG NABI ZAMAN PURBA.
DI SEBUAH rumah duka di New York City, teman-teman dan
keluarga dengan senyap berjalan melewati peti jenazah yang terbuka. Mereka
menatap jenazah itu, seorang anak lelaki berusia 17 tahun. Teman-teman
sekolahnya sama sekali tidak dapat mengenalinya. Kemoterapi telah merontokkan
rambutnya; kanker telah menggerogoti tubuhnya. Inikah teman mereka? Baru
beberapa bulan yang lalu, ia begitu kaya dengan gagasan, pertanyaan,
energi—penuh semangat hidup! Sang ibu yang berdukacita mencoba menemukan
harapan dan penghiburan dengan berpikir bahwa dengan satu atau lain cara
putranya masih hidup. Sambil bercucuran air mata, ia terus-menerus mengulangi
apa yang selama ini diajarkan kepadanya, ”Tommy lebih bahagia sekarang. Allah
ingin agar Tommy berada di surga bersamanya.”
2 Sekitar 11.000 kilometer dari sana, di
Jamnagar, India, tiga putra dari seorang pengusaha yang berusia 58 tahun
membantu membaringkan jenazah ayah mereka di atas tumpukan kayu pembakaran
jenazah. Di bawah cahaya matahari yang terang pada pagi hari itu, putra yang
sulung memulai upacara kremasi: menyalakan batang-batang kayu dengan obor serta
menuangkan campuran rempah-rempah dan dupa yang harum ke atas tubuh ayahnya
yang sudah tidak bernyawa. Gemeretak api teredam oleh suara sang Brahmana yang
mengulang-ulangi mantra berbahasa Sanskerta yang berarti, ”Semoga jiwa yang
tidak pernah mati melanjutkan upayanya untuk menyatu dengan realitas akhir.”