Senin, 26 Agustus 2013

Bagaimana Orang Lain Dapat Membantu?

Bila orang yg kita kasihi meninggal ?
Bab 4





 

”Bagaimana Orang Lain Dapat Membantu?, kita mengucapkannya dengan tulus. Kita akan melakukan apa saja untuk membantu. Namun, apakah orang yang berkabung mendatangi kita dan berkata, ”Terpikir oleh saya akan sesuatu yang Anda dapat lakukan untuk saya”? Biasanya tidak. Jelaslah, kita perlu mengambil beberapa inisiatif jika kita benar-benar ingin membantu dan menghibur orang yang berduka cita.

Sebuah amsal Alkitab berkata, ”Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak.” (Amsal 15:23; 25:11) Dibutuhkan hikmat untuk mengetahui apa yang harus dikatakan dan apa yang jangan dikatakan, apa yang harus dilakukan dan apa yang jangan dilakukan. Berikut ini adalah beberapa saran berdasarkan Alkitab yang didapati berguna oleh beberapa orang yang berkabung.

Apa yang Harus Dilakukan . . .

Dengarkan: ’Cepatlah mendengar’, kata Yakobus 1:19. Salah satu hal paling berguna yang dapat Anda lakukan adalah ikut merasakan kesedihan dari orang yang berkabung dengan mendengarkan. Beberapa orang yang berkabung mungkin perlu berbicara mengenai orang yang mereka kasihi yang telah meninggal, mengenai kecelakaan atau penyakit yang menyebabkan kematiannya, atau mengenai perasaan-perasaan mereka setelah kematian tersebut. Maka tanyakanlah, ”Apakah Anda ingin membicarakannya?” Biarkan mereka yang memutuskan. Ketika mengenang saat ketika ayahnya meninggal, seorang pria muda berkata, ”Saya merasa sangat dibantu sewaktu orang-orang menanyakan apa yang telah terjadi dan kemudian benar-benar mendengarkan.” Maka dengarkanlah dengan sabar dan penuh simpati tanpa perlu merasa bahwa Anda harus menyediakan jawaban atau jalan keluarnya. Biarkan mereka mengutarakan apa pun yang ingin mereka katakan.

Bagaimana Saya Dapat Mengatasi Duka Cita Saya?

Bila orang yg kita kasihi meninggal ?
Bab 3




 
”Bagaimana Saya Dapat Mengatasi Duka Cita Saya?. Namun belakangan ia menyadari bahwa ia keliru. Maka, sewaktu sahabat Mike kehilangan kakeknya, Mike tahu apa yang harus diperbuat. Ia berkata, ”Beberapa tahun yang lalu, saya pasti akan menepuk bahunya dan berkata, ’Bersikaplah sebagai laki-laki.’ Namun kini saya menggenggam tangannya dan berkata, ’Rasakan apa saja yang kau harus rasakan. Itu akan membantumu mengatasinya. Jika kau mau ditinggalkan sendirian, saya akan pergi. Jika kau mau ditemani, saya akan tinggal. Tapi jangan takut merasakannya.’”

MaryAnne juga merasa sangat sulit untuk menekan perasaannya sewaktu suaminya meninggal. ”Saya berjuang untuk menjadi contoh yang baik bagi orang-orang lain,” kenangnya, ”sehingga saya tidak memperbolehkan diri saya mengalami perasaan yang normal. Namun pada akhirnya saya belajar bahwa berupaya menjadi tiang yang kuat bagi orang-orang lain tidak membantu saya. Saya mulai menganalisis keadaan saya dan berkata, ’Menangislah jika kau harus menangis. Jangan berupaya untuk terlalu tegar. Keluarkan semua perasaanmu.’”

Jadi, Mike maupun MaryAnne menganjurkan: Biarkanlah diri Anda berduka cita! Dan mereka benar. Mengapa? Karena berduka cita merupakan pengungkapan emosi yang dibutuhkan. Mengungkapkan perasaan Anda dapat meringankan tekanan yang membebani Anda. Pernyataan emosi yang wajar, jika disertai dengan pemahaman dan keterangan yang saksama, memungkinkan Anda menaruh perasaan Anda dalam perspektif yang sepatutnya.

Tentu saja, tidak semua orang menyatakan duka cita dengan cara yang sama. Dan faktor-faktor seperti apakah orang yang dikasihi meninggal secara tiba-tiba atau meninggal setelah lama sakit dapat berpengaruh atas reaksi emosi dari orang-orang yang ditinggalkan. Namun satu hal tampak pasti: Memendam perasaan Anda dapat berbahaya secara fisik maupun emosi. Jauh lebih sehat untuk mengungkapkan duka cita Anda. Bagaimana? Alkitab memuat beberapa saran praktis.

Apakah Normal untuk Merasa seperti Ini?


Bila orang yg kita kasihi meninggal ?
Bab 2




 

SEORANG yang sedang berkabung menulis, ”Sebagai seorang anak di Inggris, saya diajar untuk tidak mengungkapkan perasaan saya di hadapan umum. Saya masih ingat ayah saya, seorang mantan perwira militer, berbicara kepada saya sambil menggertakkan giginya, ’Awas, jangan berani menangis!’ sewaktu ada sesuatu yang menyakitkan saya. Saya tidak ingat lagi apakah ibu saya pernah mencium atau memeluk kami anak-anak (kami empat bersaudara). Saya berusia 56 tahun ketika saya melihat ayah saya meninggal. Saya merasakan kehilangan yang luar biasa. Namun, pada mulanya, saya tidak sanggup menangis.”

Dalam beberapa kebudayaan, orang-orang mengungkapkan perasaan mereka secara terbuka. Apakah mereka sedang gembira atau sedih, orang-orang lain mengetahui bagaimana perasaan mereka. Di lain pihak, di beberapa bagian dunia, terutama di Eropa bagian utara dan Inggris, orang-orang, khususnya kaum pria, telah dibentuk oleh masyarakat untuk menyembunyikan perasaan mereka, untuk menekan emosi mereka, untuk tetap tenang dan tidak emosional serta tidak membiarkan perasaan mereka terbaca. Namun bila Anda kehilangan seseorang yang dikasihi, apakah sebenarnya salah untuk memperlihatkan duka cita Anda? Apa yang Alkitab katakan?

”Ah, Tidak Mungkin!”


Bila orang yg kita kasihi meninggal ?
Bab 1.



 

SEORANG pria dari New York (AS) menceritakan, ”Putra saya, Jonathan, sedang mengunjungi teman-temannya yang beberapa kilometer jauhnya. Istri saya, Valentina, tidak senang ia pergi ke sana. Ia selalu was-was dengan kondisi lalu lintas. Tetapi Jonathan menyukai elektronik, dan teman-temannya memiliki sebuah bengkel kerja tempat ia dapat memperoleh pengalaman yang berguna. Saya sedang berada di rumah di Manhattan barat, New York. Istri saya sedang pergi mengunjungi keluarganya di Puerto Rico. ’Jonathan akan segera pulang,’ pikir saya. Kemudian bel pintu berbunyi. ’Itu pasti dia.’ Rupanya bukan. Ternyata polisi dan tim paramedik. ’Apakah Anda mengenali SIM ini?’ tanya petugas polisi. ’Ya, itu milik putra saya, Jonathan.’ ’Ada berita buruk untuk Bapak. Baru saja terjadi kecelakaan, dan . . . putra Bapak, . . . putra Bapak meninggal.’ Reaksi pertama saya, ’Ah, tidak mungkin!’ Kejutan yang ditimbulkannya telah membuat luka dalam hati kami, yang bahkan bertahun-tahun kemudian belum juga pulih.”

Seorang ayah di Barcelona (Spanyol) menulis, ”Dahulu di Spanyol pada tahun 1960-an, kami adalah keluarga yang bahagia. Ada María, istri saya, dan ketiga anak kami, David, Paquito, dan Isabel, berusia 13, 11, dan 9 tahun.

”Suatu hari pada bulan Maret 1963, Paquito pulang ke rumah dari sekolah mengeluh sakit kepala yang sangat hebat. Kami bingung apa penyebabnya—namun hanya sebentar saja. Tiga jam kemudian ia meninggal. Pendarahan otak tiba-tiba merenggut nyawanya.

”Kematian Paquito terjadi lebih dari 30 tahun yang lalu. Meskipun demikian, perasaan sakit yang dalam akibat kematian tersebut membekas dalam diri kami sampai hari ini. Mana ada orang-tua yang ditinggal mati seorang anak, tidak merasakan sesuatu yang hilang dari diri mereka—tidak soal seberapa banyak waktu yang telah berlalu atau seberapa banyak anak yang mereka miliki.”

Sabtu, 24 Agustus 2013

Prospek yang Unik!..bab 11


 

”Setiap orang yang hidup dan menjalankan iman kepadaku sama sekali tidak akan pernah mati.”—YOHANES 11:26.

SEWAKTU jutaan orang dibangkitkan, mereka tidak akan dihidupkan kembali di atas bumi yang kosong. (Kisah 24:15) Mereka akan terbangun dalam lingkungan yang lebih indah dan akan mendapati bahwa tempat tinggal, pakaian, dan makanan yang berlimpah telah disediakan untuk mereka. Siapa yang akan mempersiapkan semua ini? Jelaslah, harus ada orang-orang yang tinggal dalam dunia baru sebelum kebangkitan di bumi dimulai. Tetapi siapa?

2 Penggenapan nubuat Alkitab memperlihatkan bahwa kita sedang hidup pada ”hari-hari terakhir” dari sistem perkara ini. (2 Timotius 3:1) Dalam waktu yang sangat singkat, Allah Yehuwa akan turun tangan dalam urusan-urusan manusia dan melenyapkan kefasikan dari bumi. (Mazmur 37:10, 11; Amsal 2:21, 22) Pada waktu itu, apa yang akan terjadi dengan orang-orang yang melayani Allah dengan setia?

Kebenaran tentang Jiwa Itu Penting..bab 10


 

”Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran akan memerdekakan kamu.”—YOHANES 8:32.

KEPERCAYAAN tentang kematian dan kehidupan setelah kematian sebagian besar adalah hasil dari latar belakang agama dan kebudayaan seseorang. Seperti yang telah kita lihat, ini berkisar dari keyakinan bahwa jiwa mencapai tujuan akhirnya hanya setelah mengalami banyak kelahiran kembali hingga gagasan bahwa satu masa hidup seseorang menentukan nasib akhirnya. Oleh karenanya, seseorang boleh jadi yakin bahwa akhirnya ia akan menyatu dengan realitas akhir sewaktu mati, sementara yang lainnya yakin bahwa ia akan mencapai Nirwana, dan ada pula yang yakin bahwa ia akan mendapatkan pahala surgawi. Kalau begitu, apa kebenarannya? Karena kepercayaan kita mempengaruhi sikap, tindakan, dan keputusan kita, bukankah kita seharusnya berminat untuk menemukan jawaban dari pertanyaan itu?

2 Buku tertua di dunia, Alkitab, menelusuri sejarah manusia hingga penciptaan jiwa manusia yang pertama. Ajarannya bebas dari filsafat dan tradisi manusia. Alkitab dengan jelas menyatakan kebenaran tentang jiwa: Jiwa saudara adalah saudara sendiri, orang mati sama sekali tanpa eksistensi, dan orang-orang yang ada dalam ingatan Allah akan dibangkitkan pada waktu yang ditentukan-Nya. Apa artinya pengetahuan ini bagi saudara?

Harapan yang Pasti..bab 9


 

”Sejak saat kelahiran senantiasa terdapat kemungkinan bahwa seseorang bisa mati kapan saja; dan tanpa dapat dielakkan, kemungkinan ini akan menjadi kenyataan yang terlaksana.”—ARNOLD TOYNBEE, SEJARAWAN ASAL INGGRIS.

SIAPA yang dapat membantah hakikat berdasarkan sejarah yang disebutkan di atas? Umat manusia harus selalu menerima kenyataan yang mengerikan berupa kematian. Dan, kita sungguh-sungguh merasa tak berdaya apabila seseorang yang kita kasihi meninggal. Pada waktu itu, apa yang sudah hilang tampaknya sama sekali tidak dapat kembali lagi. Apakah kita dapat dipersatukan kembali dengan orang-orang yang kita kasihi yang telah meninggal? Apa harapan yang diulurkan Alkitab bagi orang mati? Perhatikanlah kisah berikut.

Apa yang Terjadi dengan Jiwa pada Saat Kematian?..bab 8


 
”Doktrin bahwa jiwa manusia tidak berkematian dan akan terus ada setelah manusia mati dan tubuhnya hancur merupakan salah satu batu penjuru filsafat dan teologi Kristen.”—”NEW CATHOLIC ENCYCLOPEDIA.”

AKAN tetapi, karya referensi yang dikutip di atas mengakui bahwa ”konsep mengenai jiwa yang terus hidup setelah kematian tidak dapat dengan mudah dipahami dalam Alkitab”. Kalau begitu, apa yang sebenarnya diajarkan Alkitab mengenai apa yang terjadi dengan jiwa pada saat kematian?

Orang Mati Tidak Tahu Apa-Apa

2 Keadaan orang mati dijelaskan di Pengkhotbah 9:5, 10, yang berbunyi, ”Orang yang mati tak tahu apa-apa . . . Tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati.” Oleh karena itu, kematian adalah keadaan tanpa eksistensi. Sang pemazmur menulis bahwa sewaktu seseorang mati, ”ia kembali ke tanah; pada hari itu juga lenyaplah maksud-maksudnya”.—Mazmur 146:4.

Mengapa Kita Mati?..bab 7


Mengapa Kita Mati?..bab 7

”Semua puncak bukit kini lengang, di semua puncak pohon engkau tidak dapat mendengar napas; burung-burung tidur di atas pepohonan: nantikanlah; segera engkau akan beristirahat seperti ini.”—JOHANN WOLFGANG VON GOETHE, PENYAIR ASAL JERMAN

ALLAH menciptakan manusia dengan keinginan yang kuat untuk hidup selama-lamanya. Sesungguhnya, Alkitab mengatakan bahwa Ia menaruh ”perasaan kekekalan dalam hati mereka”. (Pengkhotbah 3:11, Beck) Tetapi, Allah tidak sekadar memberi manusia hasrat untuk hidup selama-lamanya. Ia juga memberi mereka kesempatan untuk mendapatkannya.

2 Orang-tua kita yang pertama, Adam dan Hawa, diciptakan sempurna, tanpa ada cacat pada pikiran atau tubuh. (Ulangan 32:4) Bayangkan—tidak ada kepedihan atau rasa sakit yang kronis, tidak ada perasaan takut yang mencekam atau kecemasan! Selain itu, Allah menaruh mereka dalam sebuah firdaus tempat tinggal yang menyenangkan. Maksud-tujuan Allah adalah agar manusia hidup selama-lamanya dan agar pada waktunya, bumi akan penuh dengan keturunannya yang sempurna. (Kejadian 1:31; 2:15) Kalau begitu, mengapa kita mati?

Jumat, 23 Agustus 2013

Jiwa menurut Alkitab bab 6


 

”Manusia itu menjadi jiwa yang hidup.”—KEJADIAN 2:7, ”NW”.

SEBAGAIMANA telah kita lihat, ada banyak dan beragam kepercayaan mengenai jiwa. Bahkan di antara orang-orang yang mengaku mendasarkan kepercayaan mereka pada Alkitab, terdapat gagasan yang berbeda-beda mengenai apa jiwa itu dan apa yang terjadi dengan jiwa sewaktu kita meninggal. Tetapi, apa yang sebenarnya diajarkan Alkitab mengenai jiwa? Untuk mengetahuinya, kita perlu memeriksa arti kata-kata Ibrani dan Yunani yang diterjemahkan ”jiwa” dalam Alkitab.

”Jiwa” sebagai Makhluk Hidup

2 Kata Ibrani yang diterjemahkan ”jiwa” adalah nefes, dan kata itu muncul 754 kali dalam Kitab-Kitab Ibrani (umumnya disebut Perjanjian Lama). Apa artinya nefes? Menurut The Dictionary of Bible and Religion, itu ”biasanya memaksudkan makhluk hidup seutuhnya, individu itu secara keseluruhan”.

3 Misalnya, Kejadian 2:7 (NW) menyatakan, ”Kemudian Allah Yehuwa membentuk manusia dari debu tanah dan mengembuskan ke dalam lubang hidungnya napas kehidupan, dan manusia itu menjadi jiwa yang hidup.” Perhatikan bahwa Adam tidak memiliki jiwa; ia adalah jiwa—sama seperti seseorang yang menjadi dokter adalah seorang dokter. Maka, kata ”jiwa” dapat melukiskan suatu pribadi secara keseluruhan.