Seseorang yang untuk pertama kali memasuki sebuah
perpustakaan mungkin merasa bingung melihat begitu banyak deretan buku. Namun
setelah mendapat sedikit penjelasan tentang bagaimana buku-buku tersebut
disusun, ia segera mengetahui caranya menemukan buku-buku tertentu. Demikian
pula, mencari sesuatu di dalam Alkitab menjadi lebih mudah bila saudara
mengerti bagaimana isinya disusun.
KATA ”Alkitab” berasal dari kata Yunani bi·bli′a,
yang berarti ”gulungan-gulungan papirus” atau ”buku-buku”.1 Alkitab
sebenarnya sebuah koleksi—sebuah perpustakaan—dari 66 buku terpisah, yang
penulisannya meliputi jangka waktu sekitar 1.600 tahun, dari tahun 1513 SM
sampai kira-kira tahun 98 M.
Ketiga puluh sembilan buku pertama, kira-kira tiga perempat
isi Alkitab, dikenal sebagai Kitab-Kitab Ibrani, karena buku-buku tersebut
kebanyakan ditulis dalam bahasa Ibrani. Buku-buku ini secara umum dapat dibagi
ke dalam tiga kelompok: (1) Sejarah, Kejadian sampai Ester, 17
buku; (2) Puisi, Ayub sampai Kidung Agung, 5 buku; dan (3) Nubuat,
Yesaya sampai Maleakhi, 17 buku. Kitab-Kitab Ibrani mencakup sejarah awal dari
bumi dan umat manusia serta sejarah dari bangsa Israel zaman purba sejak
kelahirannya hingga abad kelima SM.
Apakah Buku Ini Dapat Dipercaya?
Apakah Buku Ini Selaras dengan Sains?
Dua puluh tujuh buku selebihnya dikenal sebagai Kitab-Kitab
Yunani Kristen, karena ditulis dalam bahasa Yunani, bahasa internasional pada
zaman itu. Kitab-Kitab Yunani Kristen pada dasarnya disusun menurut pokok
permasalahannya: (1) Ke-5 buku sejarah—Injil dan Kisah, (2) ke-21
pucuk surat, dan (3) buku Penyingkapan. Kitab-Kitab Yunani Kristen
mengarahkan perhatian kepada pengajaran dan kegiatan dari Yesus Kristus serta
murid-muridnya pada abad pertama M.
Apakah Buku Ini Dapat Dipercaya?
”Saya mendapati lebih banyak tanda keautentikan yang pasti
di dalam Alkitab daripada di dalam sejarah [sekuler] mana pun.”—Sir Isaac
Newton, ilmuwan Inggris yang terkemuka.1
APAKAH buku ini—Alkitab—dapat dipercaya? Apakah Alkitab
merujuk kepada orang-orang yang benar-benar hidup, tempat-tempat yang
benar-benar ada, dan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi? Jika
demikian, seharusnya ada bukti bahwa Alkitab ditulis oleh para penulis yang
cermat dan jujur. Bukti-buktinya memang ada. Banyak dari antaranya ditemukan
terkubur dalam bumi, dan bahkan ada lebih banyak lagi yang terdapat dalam buku
itu sendiri.
Menemukan Bukti-Bukti
Penemuan prasasti-prasasti purba yang terkubur di
negeri-negeri Alkitab telah mendukung kesaksamaan sejarah dan geografi Alkitab.
Perhatikan beberapa bukti yang telah ditemukan para arkeolog.
Daud, gembala muda yang berani yang menjadi raja Israel,
sangat dikenal oleh para pembaca Alkitab. Namanya muncul 1.138 kali dalam
Alkitab, dan pernyataan ”Rumah Daud”—sering kali memaksudkan dinastinya—muncul
25 kali. (1 Samuel 16:13; 20:16) Namun, hingga akhir-akhir ini, tidak ada
bukti jelas di luar Alkitab bahwa Daud pernah ada. Apakah Daud hanya tokoh
fiktif belaka?
Pada tahun 1993, suatu tim arkeolog, yang dipimpin oleh
Profesor Avraham Biran, menemukan sesuatu yang menakjubkan, yang dilaporkan
dalam Israel Exploration Journal. Di lokasi bukit purba
yang disebut Tel Dan, di bagian utara dari Israel, mereka menemukan sebuah batu
basal. Pada batu tersebut terpahat kata-kata ”Rumah Daud” dan ”Raja Israel”.2
Inskripsi ini, yang berasal dari abad kesembilan SM, konon adalah bagian
dari sebuah monumen kemenangan yang didirikan oleh orang-orang Aram—musuh
Israel yang tinggal di sebelah timur. Mengapa inskripsi purba ini begitu
penting?
Berdasarkan laporan Profesor Biran dan rekan sekerjanya,
Profesor Joseph Naveh, sebuah artikel dalam Biblical Archaeology Review
menyatakan, ”Baru pertama kali nama Daud ditemukan dalam suatu inskripsi purba
di luar Alkitab.”3 Hal lain lagi juga patut diperhatikan sehubungan
dengan inskripsi ini. Istilah ”Rumah Daud” ditulis dalam satu kata. Seorang ahli
bahasa, Profesor Anson Rainey menjelaskan, ”Sebuah pemisah kata . . .
sering kali dihilangkan, terutama pada kombinasi kata yang merupakan nama yang
lazim digunakan. ’Rumah Daud’ pasti merupakan nama politis dan geografis yang
lazim digunakan pada pertengahan abad kesembilan SM.”5 Maka Raja
Daud dan dinastinya terbukti sangat terkenal di dunia purba.
Apakah Niniwe—kota besar negeri Asiria yang disebutkan di
dalam Alkitab—benar-benar ada? Pada awal abad ke-19, beberapa kritik Alkitab
menolak untuk mempercayainya. Namun pada tahun 1849, Sir Austen Henry Layard
menemukan reruntuhan istana Raja Sanherib di Kuyunjik, lokasi yang terbukti
sebagai bagian dari Niniwe purba. Dengan demikian, kritik-kritik tersebut
dibungkamkan. Namun reruntuhan ini menyingkapkan lebih banyak hal lagi. Di
tembok-tembok dari sebuah ruangan yang terpelihara baik, terdapat relief yang
memperlihatkan dikuasainya sebuah kota yang berkubu kuat, dengan para
tawanannya dipaksa berbaris di hadapan raja penakluk. Di atas relief sang raja,
terdapat sebuah inskripsi, ”Sanherib, raja dunia, raja Asiria, duduk di atas
takhta-nîmedu dan menginspeksi jarahan (yang diambil) dari Lakhis (La-ki-su).”6
Relief dan inskripsi ini, yang dapat dilihat di British
Museum, selaras dengan catatan Alkitab tentang dikuasainya kota Lakhis di Yudea
oleh Sanherib, yang dicatat di 2 Raja 18:13, 14. Mengomentari
pentingnya penemuan ini, Layard menulis, ”Sebelum adanya penemuan-penemuan ini,
siapa yang akan percaya bahwa ini mungkin atau tidak mustahil, bahwa di bawah
timbunan tanah dan sampah yang menandai lokasi Niniwe, akan ditemukan sejarah
peperangan antara Hizkia [raja Yehuda] dengan Sanherib, yang ditulis oleh
Sanherib sendiri pada saat kejadiannya, dan meneguhkan bahkan perincian yang
lebih saksama dari catatan Alkitab?”7
Para arkeolog telah menemukan banyak prasasti—tembikar,
reruntuhan bangunan, lempeng-lempeng tanah liat, uang logam, dokumen, monumen,
dan inskripsi—yang meneguhkan kesaksamaan Alkitab. Para penggali telah
menemukan kota Kasdim yang bernama Ur, pusat perdagangan dan agama tempat
Abraham tinggal.8 (Kejadian 11:27-31) Tawarikh Nabonidus, yang
ditemukan pada abad ke-19, menggambarkan kejatuhan Babilon ke tangan Kores
Agung pada tahun 539 SM, suatu peristiwa yang diceritakan dalam Daniel
pasal 5.9 Sebuah inskripsi (fragmen-fragmen yang disimpan di
British Museum) ditemukan di sebuah lengkungan di Tesalonika purba memuat
nama-nama dari para penguasa kota yang digambarkan sebagai ”politarki”, sebuah
kata yang tidak dikenal dalam kesusastraan Yunani klasik namun digunakan oleh
Lukas, salah seorang penulis Alkitab.10 (Kisah 17:6, catatan kaki NW
bahasa Inggris) Dengan demikian kesaksamaan Lukas terbukti benar dalam hal
ini—sebagaimana halnya dalam perincian-perincian lain.—Bandingkan Lukas 1:3.
Akan tetapi, para arkeolog, tidak selalu sependapat satu
sama lain, apalagi dengan Alkitab. Meskipun demikian, Alkitab itu sendiri
memuat bukti yang kuat bahwa ia adalah buku yang dapat dipercaya.
Disajikan dengan Terus Terang
Para sejarawan yang jujur bukan hanya mencatat kemenangan
(seperti inskripsi sehubungan dengan direbutnya Lakhis oleh Sanherib) namun
juga kekalahan, tidak hanya keberhasilan namun juga kegagalan, tidak hanya
kekuatan namun juga kelemahan. Tidak banyak sejarah duniawi yang mencerminkan
kejujuran demikian.
Sehubungan dengan para sejarawan Asiria, Daniel D.
Luckenbill menjelaskan, ”Sering kali, jelas terlihat bahwa keangkuhan kerajaan
menuntut dimanipulasinya kesaksamaan sejarah.”11 Sebagai ilustrasi
”keangkuhan kerajaan” demikian, tawarikh Raja Ashurnasirpal dari Asiria
bermegah, ”Akulah sang raja, akulah tuan, aku ditinggikan, aku perkasa, aku
dihormati, aku dimuliakan, aku berkuasa, aku tak kenal gentar, aku seberani
singa, dan aku pahlawan!”12 Apakah saudara menerima segala sesuatu
yang saudara baca dalam tawarikh semacam itu sebagai sejarah yang akurat?
Sebagai kontras, para penulis Alkitab mempertunjukkan
keterusterangan yang menyegarkan. Musa, pemimpin Israel, dengan terus terang
melaporkan kelemahan dari saudaranya, Harun, dari kakak perempuannya, Miryam,
serta dari keponakannya Nadab dan Abihu, dan dari bangsanya, dan juga
kesalahan-kesalahannya sendiri. (Keluaran 14:11, 12; 32:1-6; Imamat
10:1, 2; Bilangan 12:1-3; 20:9-12; 27:12-14) Kesalahan-kesalahan serius
dari Raja Daud tidak ditutup-tutupi melainkan dicatat—dan itu dibuat
sewaktu Daud masih memerintah sebagai raja.
(2 Samuel, pasal 11 dan 24) Matius, penulis dari buku yang menggunakan
namanya, memberitahukan bagaimana para rasul (termasuk dirinya) bertikai
mempersoalkan kedudukan pribadi mereka dan bagaimana mereka meninggalkan Yesus
pada malam ia ditangkap. (Matius 20:20-24; 26:56) Para penulis dari surat-surat
dalam Kitab-Kitab Yunani Kristen dengan terus terang mengakui adanya
problem-problem, termasuk perbuatan seksual yang amoral dan pertikaian, dalam
beberapa sidang Kristen masa awal. Dan mereka berbicara terus terang dalam
menanggulangi problem-problem tersebut.—1 Korintus 1:10-13; 5:1-13.
Pelaporan yang terbuka dan terus terang semacam itu
memperlihatkan kepedulian yang tulus terhadap kebenaran. Karena para penulis
Alkitab bersedia melaporkan informasi yang tidak menyenangkan tentang
orang-orang yang mereka kasihi, bangsa mereka, dan bahkan diri mereka sendiri,
bukankah itu suatu alasan kuat untuk mempercayai tulisan-tulisan mereka?
Saksama dalam Perincian
Dalam persidangan pengadilan, kredibilitas keterangan
seorang saksi sering kali ditentukan berdasarkan fakta-fakta sepele.
Keselarasan dalam perincian sepele dapat membuktikan bahwa keterangan itu
akurat dan jujur, sedangkan perbedaan serius dapat menyingkapkannya sebagai
sesuatu yang dikarang-karang. Di lain pihak, kisah yang terlalu rapi—yang
setiap perincian kecil dengan cermat diatur—mungkin juga mengindikasikan suatu
keterangan palsu.
Bagaimana jika ”keterangan” dari para penulis Alkitab
dinilai dalam hal ini? Para penulis Alkitab mempertunjukkan konsistensi yang
luar biasa. Terdapat keselarasan bahkan pada perincian-perincian yang kecil.
Akan tetapi, keselarasan ini bukan hasil rekayasa yang cermat, sampai-sampai
menimbulkan kecurigaan akan adanya kolusi. Jelaslah tidak didapati adanya persekongkolan
sehubungan dengan kebetulan-kebetulan yang sering kali ditulis dengan selaras
dan tanpa disengaja. Pertimbangkan beberapa contoh.
Penulis Alkitab Matius menulis, ”Dan Yesus, ketika tiba di
rumah Petrus, melihat ibu mertuanya berbaring dan sakit demam.”
(Matius 8:14) Matius di sini menyediakan sebuah perincian yang menarik namun
tidak penting: Petrus telah menikah. Fakta sepele ini didukung oleh Paulus,
yang menulis, ”Kami mempunyai wewenang untuk membawa serta seorang saudari
sebagai istri, sama seperti yang lain-lain dari antara rasul-rasul dan
. . . Kefas, bukan?” (1 Korintus 9:5) Ikatan kalimatnya
memperlihatkan bahwa Paulus sedang membela dirinya terhadap kritik yang tidak
beralasan. (1 Korintus 9:1-4) Jelaslah, fakta kecil ini—bahwa Petrus
menikah—dikemukakan Paulus bukan untuk mendukung kesaksamaan kisah Matius,
namun disampaikan secara tidak sengaja.
Keempat penulis Injil—Matius, Markus, Lukas, dan
Yohanes—mencatat bahwa pada malam Yesus ditahan, salah seorang muridnya menarik
pedang dan memukul seorang budak imam besar, menetak telinga pria itu. Hanya
Injil Yohanes melaporkan perincian yang tampaknya tidak perlu, ”Nama budak itu
Malkhus.” (Yohanes 18:10, 26) Mengapa hanya Yohanes saja yang
memberitahukan nama pria itu? Dalam beberapa ayat berikut, catatannya
menyediakan fakta sepele yang tidak dinyatakan di ayat lain mana pun: Yohanes
”dikenal oleh imam besar”. Ia juga dikenal oleh rumah tangga imam besar;
hamba-hambanya mengenal baik dia, dan ia mengenal baik mereka. (Yohanes 18:15, 16)
Maka, adalah wajar bahwa Yohanes menyebutkan nama dari pria yang terluka,
sedangkan para penulis Injil lainnya, yang tidak mengenal pria itu, tidak
menulisnya.
Kadang-kadang, keterangan terperinci diabaikan di sebuah
kisah namun terdapat di tempat lain oleh pernyataan yang dibuat secara
kebetulan. Misalnya, catatan Matius tentang persidangan Yesus di hadapan
Sanhedrin Yahudi mengatakan bahwa beberapa orang yang hadir ”menampar mukanya,
sambil mengatakan, ’Bernubuatlah kepada kami, hai Kristus. Siapakah yang
memukulmu?’” (Matius 26:67, 68) Mengapa mereka meminta Yesus untuk
’bernubuat’ siapa yang memukulnya, padahal sang pemukul berdiri di sana di
hadapannya? Matius tidak menjelaskannya. Namun dua penulis Injil lain
menyediakan perincian yang diabaikan: para penganiaya Yesus menyelubungi
mukanya sebelum ia ditampar. (Markus 14:65; Lukas 22:64) Matius
menyajikan bahannya tanpa mempedulikan apakah setiap perincian kecil perlu
dimasukkan.
Injil Yohanes memberitahukan tentang sebuah peristiwa ketika
suatu kumpulan besar berkumpul untuk mendengar Yesus mengajar. Menurut
catatannya, sewaktu Yesus melihat kumpulan orang, ”ia mengatakan kepada Filipus,
’Di manakah kita akan membeli roti agar mereka dapat makan?’” (Yohanes 6:5)
Dari semua murid yang hadir, mengapa Yesus bertanya kepada Filipus di mana
mereka dapat membeli roti? Sang penulis tidak mengatakannya. Namun, dalam kisah
yang paralel, Lukas melaporkan bahwa peristiwa ini terjadi di dekat Betsaida,
sebuah kota di pantai utara dari Laut Galilea, dan sebelumnya di Injil Yohanes
dikatakan bahwa ”Filipus berasal dari Betsaida”. (Yohanes 1:44; Lukas 9:10)
Maka masuk akal jika Yesus bertanya kepada seseorang yang kampung halamannya
tidak jauh dari situ. Keselarasan antara perincian-perinciannya sungguh
menakjubkan, namun jelaslah tanpa disengaja.
Dalam beberapa kasus, diabaikannya beberapa perincian justru
menambah kredibilitas dari penulis Alkitab. Misalnya, penulis dari
1 Raja-Raja memberitahukan tentang musim kering yang hebat di Israel.
Begitu hebatnya hal itu sehingga raja tidak dapat menemukan cukup air dan
rumput untuk memelihara hidup kawanan kuda dan bagalnya. (1 Raja 17:7;
18:5) Namun, kisah yang sama melaporkan bahwa nabi Elia memerintahkan untuk
membawa kepadanya cukup banyak air ke Gunung Karmel (untuk digunakan sehubungan
dengan korban) untuk mengisi parit yang membatasi areal seluas kira-kira 1.000
meter persegi. (1 Raja 18:33-35) Di tengah-tengah musim kering, dari mana
semua air itu berasal? Penulis 1 Raja-Raja tidak menjelaskannya. Akan
tetapi, siapa pun yang tinggal di Israel mengetahui bahwa Karmel berada di
pesisir Laut Tengah, sebagaimana belakangan ditunjukkan secara kebetulan dalam
kisah ini. (1 Raja 18:43) Oleh karena itu, air laut tentu saja dapat
diperoleh dengan mudah. Jika buku yang ternyata terperinci ini hanyalah fiksi
berkedok fakta, untuk apa penulisnya, yang dalam kasus itu pastilah seorang
penipu yang cerdas, membiarkan hal yang tampak membingungkan dalam ayat
tersebut?
Maka apakah Alkitab dapat dipercaya? Para arkeolog telah
menemukan cukup banyak prasasti untuk meneguhkan bahwa Alkitab merujuk kepada
orang-orang yang benar-benar ada, tempat yang benar-benar ada, dan
peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi. Akan tetapi, yang bahkan lebih
kuat lagi adalah bukti-bukti yang terdapat di dalam Alkitab itu sendiri. Para
penulis yang terus terang tidak mengecualikan siapa pun—bahkan diri mereka
sendiri—sewaktu mencatat fakta-fakta yang pahit. Konsistensi internal dari
tulisan-tulisan ini, termasuk kebetulan-kebetulannya yang tanpa direkayasa, memberikan
”keterangan” bernada kebenaran yang jelas. Dengan ”tanda keautentikan yang
pasti” demikian, Alkitab tentulah buku yang dapat saudara percayai.
[Catatan Kaki]
Setelah penemuan itu, Profesor André Lemaire melaporkan
bahwa sebuah rekonstruksi baru dari sebaris tulisan yang rusak pada prasasti
Mesa (yang juga disebut Batu Moab), yang ditemukan pada tahun 1868,
menyingkapkan bahwa prasasti itu juga mengacu kepada ”Rumah Daud”.4
”Kefas” adalah bahasa Semit untuk ”Petrus”.—Yohanes 1:42.
[Gambar di hlm. 15]
Fragmen Tel Dan
[Gambar di hlm. 16, 17]
Relief dinding Asiria menggambarkan pengepungan atas Lakhis,
yang disebutkan di 2 Raja 18:13, 14
Apakah Buku Ini Selaras dengan Sains?
Agama tidak selalu bersahabat dengan sains. Pada abad-abad
yang lalu, beberapa teolog menentang penemuan-penemuan ilmiah bila mereka
merasa bahwa penafsiran Alkitab mereka terancam karenanya. Namun apakah sains
sebenarnya musuh Alkitab?
SEANDAINYA para penulis Alkitab menyatakan dukungan kepada
pandangan ilmiah yang paling populer pada zaman mereka, maka hasilnya adalah
sebuah buku yang sarat dengan ketidaksaksamaan ilmiah yang sangat mencolok.
Namun para penulis tidak mendukung konsepsi keliru yang tidak ilmiah semacam
itu. Sebaliknya, mereka menulis sejumlah pernyataan yang bukan hanya akurat
secara ilmiah, tetapi juga bertentangan langsung dengan pendapat-pendapat yang
diterima pada zaman itu.
Bagaimana Bentuk Bumi?
Pertanyaan itu telah menarik perhatian manusia selama ribuan
tahun. Pandangan yang umum pada zaman purba adalah bahwa bumi ini rata.
Misalnya, orang-orang Babilon percaya bahwa alam semesta merupakan sebuah kotak
atau sebuah ruangan dengan bumi sebagai lantainya. Para imam Wedha dari India
membayangkan bahwa bumi ini rata dan bahwa hanya satu sisinya yang didiami.
Salah satu suku primitif di Asia menggambarkan bumi sebagai suatu nampan yang
besar.
Sudah semenjak abad keenam SM, filsuf Yunani bernama Pythagoras
berteori bahwa karena bulan dan matahari berbentuk bulat, bumi juga pasti
bulat. Aristoteles (abad keempat SM) belakangan setuju, dengan menjelaskan
bahwa kebulatan bumi dibuktikan oleh gerhana bulan. Bayangan bumi pada bulan
berbentuk lengkungan.
Akan tetapi, konsep tentang bumi yang rata (dengan hanya
sisi sebelah atasnya didiami) tidak lenyap seluruhnya. Ada yang tidak dapat
menerima implikasi logis dari bentuk bumi yang bulat—konsep antipode.
Lactantius, seorang apologis Kristen dari abad keempat M, mencemooh gagasan
tersebut. Ia bernalar, ”Apakah ada orang yang sedemikian bodohnya untuk percaya
bahwa ada manusia yang jejak kakinya berada di atas kepala mereka?
. . . bahwa tanaman dan pohon-pohon tumbuh ke bawah? bahwa hujan, dan
salju, serta hujan es jatuh ke atas?”2
Konsep antipode menjadi suatu dilema bagi beberapa teolog.
Beberapa teori berpendapat bahwa kalaupun terdapat orang-orang yang berada di
antipode, mereka tidak mungkin dapat berhubungan dengan manusia-manusia di
belahan bumi lainnya, karena laut terlalu luas untuk diarungi atau karena
daerah panas yang tidak dapat dilewati yang meliputi khatulistiwa. Maka dari
mana asalnya orang-orang di antipode? Karena bingung, beberapa teolog memilih
untuk percaya bahwa tidak mungkin ada orang-orang di antipode, atau bahkan,
seperti pendapat Lactantius, bahwa bumi ini memang tidak berbentuk bulat!
Meskipun demikian, konsep tentang bentuk bumi yang bulat
itulah yang menang, dan pada akhirnya konsep itu diterima secara luas. Akan
tetapi, baru pada permulaan era antariksa di abad ke-20 ini manusia dapat
mengadakan perjalanan cukup jauh ke luar angkasa untuk meneguhkan melalui
pengamatan langsung bahwa bumi berbentuk bola.
Dan bagaimana pendirian Alkitab dalam permasalahan ini? Pada
abad kedelapan SM, sewaktu pandangan yang umum adalah bahwa bumi ini rata,
berabad-abad sebelum para filsuf Yunani berteori bahwa bumi ini tampaknya
bulat, dan ribuan tahun sebelum manusia melihat bola bumi dari luar angkasa,
nabi Ibrani, Yesaya, menyatakan dengan kesederhanaan yang luar biasa, ”Dia yang
bertakhta di atas bulatan bumi.” (Yesaya 40:22) Kata Ibrani chugh,
di sini diterjemahkan ”bulatan”, juga dapat diterjemahkan sebagai ”bola”.3
Terjemahan Alkitab lain berbunyi, ”bola bumi” (Douay Version) dan
”bumi yang bulat”.—Moffatt.
Penulis Alkitab Yesaya menghindari mitos yang umum tentang
bumi. Sebaliknya, ia menulis sebuah pernyataan yang tidak terancam oleh
kemajuan penemuan ilmiah.
Apa yang Menopang Bumi?
Pada zaman purba, manusia dibingungkan oleh
pertanyaan-pertanyaan lain tentang kosmos: Bumi ini terletak di mana? Apa yang
menopang matahari, bulan, dan bintang? Mereka tidak memiliki pengetahuan
tentang hukum gravitasi universal, yang diformulasikan oleh Isaac Newton dan
diterbitkan pada tahun 1687. Gagasan bahwa benda-benda luar angkasa sebenarnya
tergantung pada ruang hampa tidak diketahui oleh mereka. Maka, penjelasan
mereka sering kali memberikan kesan bahwa terdapat suatu wujud objek atau suatu
unsur sebagai penopang bumi dan benda-benda angkasa lain di udara.
Misalnya, sebuah teori purba, yang kemungkinan berasal dari
orang-orang yang tinggal di sebuah pulau, adalah bahwa bumi diliputi oleh air
dan bumi mengapung di air ini. Orang-orang Hindu membayangkan bahwa bumi
memiliki beberapa fondasi, satu di atas yang lain. Bumi terletak di atas empat
ekor gajah, gajah-gajah berdiri di atas sebuah kura-kura yang sangat besar,
kura-kura berdiri di atas ular yang besar sekali, dan ular yang bergelung
mengapung di perairan universal. Empedocles, seorang filsuf Yunani dari abad kelima SM,
percaya bahwa bumi terletak di atas sebuah pusaran angin dan bahwa pusaran
angin ini menyebabkan pergerakan dari benda-benda angkasa.
Di antara pandangan yang paling berpengaruh adalah pandangan
Aristoteles. Meskipun ia berteori bahwa bumi ini bulat, ia menyangkal bahwa
bumi dapat bergantung pada ruang hampa. Dalam bukunya On the Heavens,
sewaktu membuktikan kekeliruan konsep bahwa bumi terletak di atas air, ia
mengatakan, ”Bukanlah sifat air, ataupun juga sifat bumi, untuk berada di
udara; harus ada sesuatu untuk menopangnya.”4 Maka, apa yang
”menopang” bumi? Aristoteles mengajarkan bahwa matahari, bulan, dan bintang
terpasang pada permukaan sebuah bulatan keras yang transparan. Bulatan terletak
di dalam bulatan, sedangkan bumi—tidak bergerak—merupakan pusatnya. Seraya
bulatan-bulatan ini berputar di dalam satu sama lain, objek-objek yang
terpasang padanya—matahari, bulan, dan planet-planet—bergerak di langit.
Penjelasan Aristoteles tampaknya masuk akal. Jika
benda-benda angkasa tidak terpasang erat pada sesuatu, bagaimana mereka dapat
bertahan di udara? Pandangan dari Aristoteles yang dihormati diterima sebagai
fakta selama kira-kira 2.000 tahun. Menurut The New Encyclopædia
Britannica, pada abad ke-16 dan ke-17 ajarannya ”dianugerahi status
dogma agama” di mata gereja.5
Dengan ditemukannya teleskop, para astronom mulai
mempertanyakan teori Aristoteles. Namun, jawabannya membingungkan mereka sampai
Sir Isaac Newton menjelaskan bahwa planet-planet bergantung di ruang hampa,
ditopang di orbitnya oleh suatu daya yang tidak kelihatan—gravitasi. Itu
tampaknya luar biasa, dan beberapa rekan sekerja Newton merasa sulit percaya
bahwa antariksa ini ternyata hampa, sebagian besar kosong tanpa unsur.6
Apa yang dikatakan Alkitab berkenaan pertanyaan ini? Hampir
3.500 tahun yang lalu, Alkitab dengan sangat jelas mengatakan bahwa bumi ini
bergantung ”pada kehampaan”. (Ayub 26:7) Dalam bahasa Ibrani asli, kata ”pada
kehampaan” (beli-mah′) yang digunakan di sini secara harfiah berarti
”tanpa apa pun”.7 Contemporary English Version
menggunakan pernyataan, ”pada ruang hampa”.
Kebanyakan orang pada zaman itu sama sekali tidak
menggambarkan bumi sebagai sebuah planet yang bergantung ”pada ruang hampa”.
Namun, jauh sebelum zamannya, para penulis Alkitab mencatat sebuah pernyataan
yang masuk akal secara ilmiah.
Alkitab dan Ilmu Pengetahuan Medis—Apakah Selaras Satu Sama Lain?
Ilmu pengetahuan medis modern telah banyak mengajar kita
tentang penyebaran dan pencegahan penyakit. Kemajuan-kemajuan medis pada abad
ke-19 telah memperkenalkan praktek medis antisepsis—kebersihan untuk meniadakan
infeksi. Hasilnya dramatis. Infeksi dan kematian prematur mengalami penurunan
drastis.
Akan tetapi, para tabib purba tidak sepenuhnya mengerti
bagaimana penyakit menyebar, mereka juga tidak menyadari pentingnya sanitasi
dalam mencegah penyakit. Itu tidak mengherankan mengingat banyak dari praktek-praktek
medis mereka tampak tidak beradab menurut standar modern.
Salah satu peninggalan naskah medis tertua adalah Papirus
Eber, suatu himpunan pengetahuan medis Mesir, yang berasal dari sekitar tahun
1550 SM. Gulungan ini memuat 700 macam pengobatan untuk berbagai penyakit
”mulai dari gigitan buaya sampai kuku kaki yang sakit”.8 The International
Standard Bible Encyclopaedia mengatakan, ”Pengetahuan
medis dari para tabib ini semata-mata bersifat empiris, sebagian besar bersifat
gaib dan sama sekali tidak ilmiah.”9 Kebanyakan dari pengobatannya
tidak efektif, beberapa darinya justru sangat berbahaya. Untuk mengobati luka,
salah satu resep menyarankan agar mengoleskan campuran yang terbuat dari
kotoran manusia dengan zat-zat lainnya.10
Naskah dari pengobatan medis Mesir ini ditulis hampir
bersamaan waktu dengan buku-buku pertama Alkitab, yang mencakup Hukum Musa.
Musa, yang lahir pada tahun 1593 SM, dibesarkan di Mesir. (Keluaran
2:1-10) Sebagai anggota dari rumah tangga Firaun, ia ”diajar dalam segala hikmat
orang Mesir”. (Kisah 7:22) Ia kenal baik dengan ”tabib-tabib” Mesir. (Kejadian
50:1-3) Apakah praktek-praktek medis mereka yang tidak efektif dan berbahaya
mempengaruhi tulisan-tulisannya?
Tidak. Sebagai kontras, Hukum Musa mencakup
peraturan-peraturan sanitasi yang lebih maju dibandingkan dengan zamannya.
Misalnya, sebuah hukum sehubungan dengan perkemahan militer menuntut untuk
mengubur tinja jauh dari perkemahan. (Ulangan 23:13) Ini merupakan tindakan
pencegahan yang sangat maju. Hal ini turut melindungi air bersih dari
kontaminasi dan menyediakan perlindungan terhadap lalat pembawa sigelosis dan
penyakit-penyakit diare lain yang masih merenggut jutaan nyawa setiap tahun di
negeri-negeri tempat kondisi sanitasi masih buruk.
Hukum Musa memuat peraturan-peraturan sanitasi lain yang
melindungi Israel terhadap penyebaran penyakit menular. Seseorang yang memiliki
atau diduga memiliki penyakit yang menular harus dikarantinakan. (Imamat
13:1-5) Pakaian atau wadah yang bersentuhan dengan binatang yang telah mati
bukan karena dibunuh (barangkali karena penyakit) harus dicuci sebelum
digunakan kembali atau dimusnahkan. (Imamat 11:27, 28, 32, 33) Siapa pun
yang menyentuh mayat dianggap najis dan harus menjalani prosedur pembersihan
yang mencakup mencuci pakaiannya dan mandi. Selama periode najis tujuh hari, ia
harus menghindari kontak fisik dengan orang-orang lain.—Bilangan 19:1-13.
Aturan sanitasi ini menyingkapkan hikmat yang tidak dimiliki
oleh para tabib dari bangsa-bangsa sekitarnya pada saat itu. Ribuan tahun sebelum
ilmu pengetahuan kedokteran mengetahui tentang cara penyebaran penyakit,
Alkitab telah menetapkan langkah-langkah pencegahan yang masuk akal sebagai
perlindungan terhadap penyakit. Tidak heran, Musa dapat mengatakan bahwa
orang-orang Israel pada zamannya rata-rata hidup sampai 70 atau 80
tahun.—Mazmur 90:10.
Saudara mungkin mengakui bahwa pernyataan-pernyataan Alkitab
yang disebutkan di atas saksama secara ilmiah. Namun ada pernyataan-pernyataan
lain di dalam Alkitab yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Apakah itu
membuat Alkitab bertentangan dengan sains?
Menerima Keterangan yang Tidak Dapat Dibuktikan
Suatu pernyataan yang tidak dapat dibuktikan tidak selalu
berarti palsu. Pembuktian ilmiah dibatasi oleh kesanggupan manusia untuk
menemukan bukti-bukti yang cukup dan untuk menafsirkan data dengan tepat. Namun
beberapa kebenaran tidak dapat dibuktikan karena tidak terdapat peninggalan
barang bukti, bukti-buktinya tidak jelas atau belum tersingkap, atau kemampuan
dan keahlian ilmiah belum memadai untuk sampai pada kesimpulan yang tidak dapat
disangkal. Mungkinkah ini yang terjadi dengan beberapa pernyataan Alkitab yang
kurang memiliki bukti-bukti fisik yang independen?
Misalnya, referensi Alkitab tentang suatu wilayah yang tidak
kelihatan yang didiami oleh makhluk-makhluk roh; itu tidak dapat dibuktikan—atau
disangkal—secara ilmiah. Demikian pula peristiwa-peristiwa yang bersifat
mukjizat yang disebutkan di dalam Alkitab. Tidak tersedia cukup bukti geologis
yang jelas sehubungan dengan Air Bah sedunia pada zaman Nuh, yang dapat
meyakinkan sebagian orang. (Kejadian, pasal 7) Haruskah kita menyimpulkan
bahwa Air Bah tidak terjadi? Peristiwa-peristiwa bersejarah dapat dikaburkan
oleh waktu dan perubahan. Maka bukankah ada kemungkinan bahwa ribuan tahun dari
kegiatan geologi telah melenyapkan banyak bukti tentang Air Bah?
Memang, Alkitab memuat pernyataan-pernyataan yang tidak
dapat dibuktikan atau disangkal oleh bukti-bukti fisik yang tersedia. Namun
haruskah hal itu mengejutkan kita? Alkitab bukanlah buku pelajaran sains. Akan
tetapi, Alkitab adalah buku kebenaran. Kita telah membahas bukti-bukti kuat
bahwa para penulisnya adalah pria-pria yang berintegritas dan jujur. Dan
sewaktu mereka menyebutkan hal-hal yang berkaitan dengan sains, kata-kata
mereka akurat dan sepenuhnya bebas dari teori ”ilmiah” purba yang belakangan
terbukti sebagai mitos belaka. Dengan demikian sains bukanlah musuh Alkitab.
Ada alasan kuat untuk mempertimbangkan apa yang Alkitab katakan dengan pikiran
terbuka.
[Catatan Kaki]
”Antipode . . . adalah dua tempat yang terletak di
belahan bumi yang berlawanan. Suatu garis yang lurus di antaranya melewati
pusat bumi. Dalam bahasa Yunani, kata antipode berarti kaki ke kaki.
Telapak kaki dari dua orang yang berdiri di antipode yang berlawanan berada
pada jarak yang paling dekat satu sama lain.”1—The World
Book Encyclopedia.
Berbicara secara teknik, bumi ini tidak bulat sempurna; bumi
sedikit rata pada kedua kutubnya.
Selain itu, hanya objek yang berbentuk bulat tampak sebagai
suatu lingkaran dari setiap sudut pandangan. Sebuah piringan yang rata akan
lebih sering kelihatan berbentuk elips, bukan lingkaran.
Suatu pandangan yang terkemuka pada zaman Newton adalah
bahwa alam semesta dipenuhi dengan cairan—suatu ”sup” kosmik—dan bahwa pusaran
air dalam cairan ini membuat planet-planet berputar.
Pada tahun 1900, harapan hidup di banyak negeri Eropa dan
Amerika Serikat kurang dari 50 tahun. Semenjak itu, harapan hidup meningkat
secara dramatis bukan hanya berkat kemajuan medis dalam mengendalikan penyakit
melainkan juga berkat sanitasi dan kondisi hidup yang lebih baik.
[Blurb di hlm. 21]
Suatu pernyataan yang tidak dapat dibuktikan tidak selalu
berarti palsu
[Gambar di hlm. 18]
Ribuan tahun sebelum manusia melihat bola bumi dari luar
angkasa, Alkitab menyebutnya ”bulatan bumi”
[Gambar di hlm. 20]
Sir Isaac Newton menjelaskan bahwa planet-planet ditopang
dalam orbit mereka oleh gravitasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar