”Alkitab adalah buku yang paling banyak dibaca sepanjang
sejarah. . . . Lebih banyak eksemplar yang telah tersiar dibandingkan
dengan buku lain mana pun. Alkitab juga lebih sering diterjemahkan, dan ke
dalam lebih banyak bahasa, daripada buku lain mana pun.”—”The World Book
Encyclopedia.”1
DALAM beberapa hal, kebanyakan buku ada kemiripannya dengan
manusia. Mereka muncul, mungkin semakin populer, dan—kecuali untuk segelintir
karya sastra klasik—menjadi tua dan mati. Perpustakaan sering kali menjadi
seperti kuburan bagi banyak sekali buku yang ketinggalan zaman, tidak pernah
dibaca dan, pada dasarnya, mati.
Akan tetapi, Alkitab memang luar biasa bahkan di antara
karya-karya klasik. Meskipun penulisannya dimulai 3.500 tahun yang lalu,
Alkitab masih sangat segar. Sejauh ini, Alkitablah buku yang paling banyak
peredarannya di bumi. Setiap tahun, sekitar 60 juta eksemplar dari seluruh
Alkitab atau bagian-bagiannya tersiar. Edisi pertama dalam bentuk buku cetakan
dihasilkan oleh mesin cetak Johannes Gutenberg dari Jerman sekitar tahun 1455.
Sejak itu, diperkirakan empat miliar Alkitab (seluruhnya atau sebagian) telah
dicetak. Tidak ada buku lain, yang bersifat agama atau nonagama, yang bahkan
dapat menyamainya.
Bagaimana Buku Ini Dapat Tetap Bertahan?
Buku yang ”Berbicara” dalam Bahasa yang Hidup
Alkitab juga buku yang paling banyak diterjemahkan sepanjang
sejarah. Alkitab yang lengkap maupun bagian-bagian darinya telah
diterjemahkan ke dalam lebih dari 2.100 bahasa dan dialek. Lebih dari 90 persen
keluarga manusia dapat membaca setidaknya sebagian dari Alkitab dalam bahasa
mereka sendiri.2 Buku ini telah menyeberangi batas-batas nasional
dan menaklukkan perintang-perintang ras dan etnik.
Statistik saja mungkin belum dapat memberikan alasan yang
mendesak bagi saudara untuk menyelidiki Alkitab. Meskipun demikian, angka
sirkulasi dan penerjemahannya sangat mengesankan, menunjukkan daya tarik
Alkitab yang bersifat universal. Tentu, buku terlaris dan terbanyak
diterjemahkan sepanjang sejarah manusia layak saudara pertimbangkan.
[Catatan Kaki]
Menurut anggapan, publikasi berikutnya yang paling banyak
tersiar adalah buku kecil bersampul merah Quotations From the
Works of Mao Tse-tung, yang kira-kira 800 juta
eksemplarnya telah terjual atau tersiar.
Statistik sehubungan dengan jumlah bahasa berdasarkan angka
yang diterbitkan oleh United Bible Societies.
[Gambar di hlm. 6]
Alkitab Gutenberg, dalam bahasa Latin, dalam bentuk buku
cetakan lengkap pertama
Bagaimana Buku Ini Dapat Tetap Bertahan?
Tulisan-tulisan kuno mempunyai musuh-musuh alam—api, udara
lembap, dan jamur. Alkitab tidak kebal terhadap bahaya-bahaya demikian.
Prestasi Alkitab, yang mampu bertahan melewati ganasnya waktu sampai menjadi
buku yang paling mudah diperoleh, sangat luar biasa dari antara tulisan-tulisan
kuno. Riwayatnya pantas diberi perhatian serius.
PARA penulis Alkitab menggoreskan kata-kata mereka bukannya
di atas batu; bukan pula di lempeng-lempeng tanah liat yang tahan lama. Mereka
rupanya menuliskan kata-kata mereka di atas bahan-bahan yang tidak tahan
lama—papirus (terbuat dari sejenis tanaman di Mesir dengan nama yang sama) dan
perkamen (terbuat dari kulit binatang).
Apa yang terjadi dengan tulisan-tulisan yang asli? Itu bisa
jadi telah hancur berkeping-keping lama berselang, kebanyakan di Israel purba.
Sarjana Oscar Paret menjelaskan, ”Kedua macam alat tulis ini [papirus dan
perkamen] sama-sama mudah dirusak oleh kelembapan, jamur, dan berbagai jenis
belatung. Kita tahu dari pengalaman sehari-hari betapa mudahnya kertas, bahkan
kulit yang kuat, menjadi rusak di udara terbuka atau dalam ruangan yang
lembap.”1
Jika tulisan aslinya sudah tidak ada lagi, bagaimana
kata-kata dari para penulis Alkitab dapat tetap bertahan sampai ke zaman kita?
Dipelihara Oleh Para Penyalin yang Sangat Teliti
Segera setelah yang asli ditulis, salinan-salinan tulisan
tangan mulai dihasilkan. Menyalin Alkitab sebenarnya menjadi suatu profesi pada
zaman Israel purba. (Ezra 7:6; Mazmur 45:2) Namun, salinan-salinan ini juga
ditulis di atas bahan-bahan yang tidak tahan lama. Akhirnya, ini digantikan
oleh salinan-salinan tulisan tangan lainnya. Sewaktu yang asli berlalu dari
peredaran, salinan-salinan ini menjadi dasar untuk manuskrip-manuskrip
berikutnya. Menyalin salinan-salinan merupakan suatu proses yang berlangsung
selama berabad-abad. Apakah kesalahan-kesalahan para penyalin selama
berabad-abad secara drastis mengubah naskah Alkitab? Bukti-bukti mengatakan
tidak.
Para penyalin profesional benar-benar setia. Mereka memiliki
rasa hormat yang teramat dalam terhadap kata-kata yang mereka salin. Mereka
juga sangat teliti. Kata Ibrani yang diterjemahkan ”penyalin” adalah so·pher′,
yang merujuk kepada menghitung dan mencatat. Untuk mengilustrasikan kesaksamaan
dari para penyalin, perhatikanlah kaum Masoret. Tentang mereka, sarjana Thomas
Hartwell Horne menjelaskan, ”Mereka . . . memperhitungkan mana yang
menjadi huruf tengah dari Pentateuch [lima buku pertama dari Alkitab],
mana yang menjadi anak kalimat (klausa) yang terdapat di tengah-tengah dari
setiap buku, dan berapa kali setiap huruf dalam abjad [Ibrani] muncul dalam
seluruh Kitab-Kitab Ibrani.”3
Oleh karena itu, para penyalin yang terampil menggunakan
sejumlah metode pengecekan silang. Agar jangan sampai menghilangkan satu huruf
pun dari naskah Alkitab, mereka bahkan sampai menghitung bukan hanya kata-kata
yang mereka salin, namun juga huruf-hurufnya. Pertimbangkan kepedulian
yang sungguh-sungguh dalam pekerjaan ini: Mereka dilaporkan membuat catatan
dari total 815.140 huruf dalam Kitab-Kitab Ibrani!4 Upaya yang rajin
seperti ini menjamin suatu taraf kesaksamaan yang tinggi.
Meskipun demikian, para penyalin bukannya tidak dapat
membuat kesalahan. Apakah ada bukti bahwa, meskipun adanya penyalinan ulang
selama berabad-abad, naskah Alkitab tetap bertahan dalam bentuk yang dapat
diandalkan?
Sebuah Dasar yang Kokoh untuk Yakin
Terdapat alasan kuat untuk percaya bahwa Alkitab telah
dengan saksama ditransmisikan hingga ke zaman kita. Bukti-buktinya terdiri dari
manuskrip-manuskrip tulisan tangan yang masih ada—diperkirakan terdapat 6.000
manuskrip dari seluruh atau sebagian Kitab-Kitab Ibrani dan sekitar 5.000
manuskrip dari Kitab-Kitab Kristen berbahasa Yunani. Dari antaranya terdapat
manuskrip Kitab-Kitab Ibrani yang ditemukan pada tahun 1947 yang menunjukkan
betapa akurat penyalinan Kitab-Kitab tersebut. Sejak itu, penemuan ini dijuluki
sebagai ”penemuan manuskrip terhebat pada zaman modern”.5
Sewaktu sedang menggembalakan kawanan ternaknya pada
permulaan tahun itu, seorang anak gembala Badui menemukan sebuah gua di dekat
Laut Mati. Di dalamnya, ia menemukan sejumlah tempayan tembikar, kebanyakan
dari antaranya kosong. Akan tetapi, dalam salah satu tempayan, yang ditutup
rapat, ia menemukan sebuah gulungan kulit yang dengan cermat dibungkus dalam
kain linen dan berisi salah satu buku Alkitab, Yesaya, secara lengkap. Meskipun
telah usang, gulungan yang masih terpelihara baik ini, memperlihatkan
tanda-tanda pernah diperbaiki. Gembala muda ini tidak menyangka sedikit pun
bahwa gulungan kuno yang ia pegang akhirnya akan mendapat perhatian seluas
dunia.
Apa arti penting dari manuskrip ini? Pada tahun 1947,
manuskrip Ibrani lengkap tertua yang telah ditemukan berasal dari kira-kira
abad kesepuluh M. Namun gulungan ini berasal dari abad kedua SM—selisih
usianya lebih dari seribu tahun. Para sarjana sangat berminat untuk mengetahui
hasil perbandingan gulungan ini dengan manuskrip-manuskrip yang dihasilkan
berabad-abad kemudian.
Dalam suatu penelitian, para sarjana membandingkan pasal
ke-53 dari Yesaya dalam Gulungan Laut Mati dengan naskah Masoret yang
dihasilkan seribu tahun kemudian. Buku A General Introduction
to the Bible, menjelaskan hasil penelitian ini, ”Dari
ke-166 kata dalam Yesaya 53, hanya terdapat tujuh belas huruf yang
dipertanyakan. Sepuluh dari antara huruf-huruf ini hanya soal pengejaan, yang
tidak mempengaruhi artinya. Empat huruf lagi adalah perubahan kecil dalam hal
gaya, seperti kata sambung. Ketiga huruf selebihnya terdiri dari kata ’terang’,
yang ditambahkan dalam ayat 11, dan tidak banyak mempengaruhi artinya.
. . . Maka, dalam satu pasal dari 166 kata, hanya ada satu kata (tiga
huruf) yang dipertanyakan setelah ribuan tahun pentransmisian—dan kata ini
tidak banyak mengubah makna ayat itu.”7
Profesor Millar Burrows, yang meneliti gulungan ini selama
bertahun-tahun, menganalisis isinya, kemudian mengambil kesimpulan yang sama,
”Banyak perbedaan yang terdapat antara . . . gulungan Yesaya dan
naskah salinan kaum Masoret dapat dijelaskan sebagai kesalahan penyalinan. Di
luar itu, ada persamaan yang menakjubkan, secara menyeluruh, dengan naskah yang
terdapat dalam manuskrip-manuskrip abad pertengahan. Persamaan demikian dalam
manuskrip yang jauh lebih tua memberikan bukti yang meyakinkan bahwa naskah
tradisional itu secara umum memang saksama.”8
”Bukti yang meyakinkan” dapat juga diberikan mengenai
penyalinan Kitab-Kitab Yunani Kristen. Misalnya, penemuan Kodeks Sinaitikus
pada abad ke-19, sebuah manuskrip vellum (kulit binatang yang disamak)
yang berasal dari abad keempat M, turut meneguhkan kesaksamaan
manuskrip-manuskrip dari Kitab-Kitab Yunani Kristen yang dihasilkan berabad-abad
kemudian. Sebuah fragmen papirus dari Injil Yohanes, yang ditemukan di distrik
Faiyūm, Mesir, berasal dari lima puluh tahun pertama abad kedua M, kurang
dari 50 tahun setelah naskah aslinya ditulis. Ini telah terpelihara selama
berabad-abad di pasir kering. Naskahnya sesuai dengan naskah yang ditemukan
dalam manuskrip-manuskrip yang belakangan.9
Oleh karena itu, bukti-bukti meneguhkan bahwa sesungguhnya
para penyalin sangat saksama. Meskipun demikian, mereka memang membuat
kesalahan. Tidak ada manuskrip yang tanpa cacat—Gulungan Laut Mati Yesaya juga
tidak terkecuali. Sekalipun demikian, para sarjana telah dapat mendeteksi dan
mengoreksi perbedaan-perbedaannya dari yang asli.
Mengoreksi Kesalahan Para Penyalin
Misalnya 100 orang diminta untuk membuat sebuah salinan
tulisan tangan dari sebuah dokumen yang panjang. Tidak diragukan, setidaknya
beberapa dari para penyalin akan membuat kesalahan. Akan tetapi, mereka tidak
mungkin membuat jenis kesalahan yang sama. Jika saudara mengambil ke-100
salinan itu dan membandingkannya dengan sangat cermat, saudara akan dapat
menemukan kesalahannya dan menentukan naskah yang persis seperti dokumen
aslinya, sekalipun saudara belum pernah melihat dokumen tersebut.
Demikian pula, para penyalin Alkitab tidak membuat jenis
kesalahan yang sama. Dengan ribuan manuskrip Alkitab yang sekarang tersedia
untuk analisis perbandingan, para sarjana pernaskahan telah dapat menemukan
kesalahan-kesalahan, menentukan teks aslinya, dan mencatat koreksi yang
dibutuhkan. Sebagai hasil dari penelitian yang cermat demikian, para sarjana
pernaskahan telah menghasilkan naskah-naskah induk dalam bahasa-bahasa aslinya.
Edisi-edisi revisi dari naskah-naskah Ibrani dan Yunani ini menggunakan
kata-kata yang paling umum yang diakui keasliannya, sering kali catatan kakinya
memuat variasi atau alternatif pengejaan yang mungkin muncul dalam manuskrip
tertentu. Edisi-edisi revisi dari para sarjana pernaskahan inilah yang
digunakan oleh para penerjemah Alkitab untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam
bahasa-bahasa modern.
Maka sewaktu saudara membaca sebuah terjemahan Alkitab
modern, ada cukup banyak alasan untuk yakin bahwa naskah Ibrani dan Yunani,
yang dijadikan dasar penerjemahan, menyajikan dengan sangat saksama kata-kata
dari para penulis asli Alkitab. Prestasi Alkitab, yang sanggup bertahan selama
ribuan tahun melalui penyalinan ulang dengan tangan, benar-benar luar biasa.
Sir Frederic Kenyon, kurator kawakan dari British Museum, dengan demikian dapat
mengatakan, ”Tidaklah berlebihan untuk menegaskan bahwa pada hakekatnya naskah
Alkitab dapat dipastikan keasliannya . . . Pernyataan serupa tidak
dapat diberikan untuk buku kuno lain mana pun di dunia ini.”10
[Catatan Kaki]
Kaum Masoret (yang berarti ”Pakar Tradisi”) adalah para
penyalin dari Kitab-Kitab Ibrani yang hidup antara abad keenam dan
kesepuluh M. Salinan-salinan manuskrip yang mereka hasilkan disebut
sebagai teks Masoret.2
SM berarti ”Sebelum Masehi”. M berarti ”Masehi”, sering
kali disebut AD, untuk Anno Domini, yang berarti ”pada tahun
Tuhan kita”.
Textual Criticism of the Hebrew
Bible, oleh Emanuel Tov, menyatakan, ”Dengan bantuan uji karbon 14,
1QIsaa [Gulungan Laut Mati Yesaya] kini berasal antara tahun 202 dan
107 SM (tanggal paleografisnya: 125-100 SM) . . . Metode paleografis
yang disebutkan, yang telah dikembangkan pada tahun-tahun belakangan ini, dan
yang memungkinkan penentuan penanggalan absolut berdasarkan perbandingan bentuk
dan posisi dari huruf-huruf dengan sumber-sumber eksternal seperti mata uang
dan inskripsi bertanggal, telah terbukti sebagai metode yang cukup dapat
diandalkan.”6
Tentu saja, para penerjemah secara individu bisa saja kaku
atau longgar dalam keterpautan mereka kepada naskah-naskah asli Ibrani dan
Yunani.
[Gambar di hlm. 8]
Alkitab dipelihara oleh para penyalin yang terampil
[Gambar di hlm. 9]
Gulungan Laut Mati Yesaya (tampak reproduksinya) praktis
sama dengan naskah Masoret yang dihasilkan ribuan tahun berselang
Buku yang ”Berbicara” dalam Bahasa yang Hidup
Jika bahasa yang digunakan dalam penulisan sebuah buku telah
mati, buku tersebut akan mati bersamanya. Dewasa ini, tidak banyak orang dapat
membaca bahasa-bahasa kuno yang digunakan dalam penulisan Alkitab. Namun
Alkitab masih tetap hidup. Ia masih bertahan karena telah ”belajar berbicara”
dalam bahasa yang hidup yang digunakan umat manusia. Para penerjemah yang
”mengajar”nya untuk berbicara dalam bahasa-bahasa lain adakalanya menghadapi
rintangan-rintangan yang tampaknya tidak tertanggulangi.
MENERJEMAHKAN Alkitab—dengan lebih dari 1.100 pasal dan
31.000 ayatnya—merupakan pekerjaan yang sangat berat. Akan tetapi, selama
berabad-abad, para penerjemah yang setia dengan senang hati menyambut tantangan
ini. Kebanyakan dari mereka rela menderita kesukaran dan bahkan mati demi
pekerjaan mereka. Sejarah tentang bagaimana Alkitab sampai diterjemahkan ke
dalam bahasa-bahasa umat manusia menjadi suatu kisah yang luar biasa tentang
ketekunan dan kecerdikan. Perhatikanlah sebagian kecil dari riwayatnya yang
menarik.
Tantangan-Tantangan yang Dihadapi Para Penerjemah
Bagaimana caranya saudara menerjemahkan sebuah buku ke dalam
suatu bahasa yang belum memiliki abjad? Banyak penerjemah Alkitab menghadapi
tantangan semacam itu. Misalnya, Ulfilas, dari abad keempat M, mulai menerjemahkan
Alkitab ke dalam bahasa yang saat itu merupakan bahasa modern namun tidak
tertulis—bahasa Gotik. Ulfilas menanggulangi tantangan ini dengan merancang
abjad Gotik yang terdiri dari 27 karakter, yang terutama didasarkan pada abjad
Yunani dan Latin. Terjemahannya yang meliputi hampir seluruh Alkitab ke dalam
bahasa Gotik diselesaikan sebelum tahun 381 M.
Pada abad kesembilan, dua kakak-beradik yang berbahasa
Yunani, Cyril (pada mulanya bernama Konstantin) dan Methodius, keduanya sarjana
dan ahli linguistik terkemuka, ingin menerjemahkan Alkitab untuk orang-orang
berbahasa Slavia. Namun Slavonic—pelopor dari bahasa Slavia zaman
sekarang—belum memiliki abjad. Maka kakak-beradik ini menciptakan abjad dengan
tujuan menghasilkan suatu terjemahan Alkitab. Itu sebabnya Alkitab kini dapat
”berbicara” kepada lebih banyak orang, termasuk orang-orang di kawasan Slavia.
Pada abad ke-16, William Tyndale mulai menerjemahkan Alkitab
dari bahasa-bahasa asli ke dalam bahasa Inggris, namun ia menghadapi tentangan
sengit dari Gereja dan Negara. Tyndale, yang dididik di Oxford, ingin
menghasilkan suatu terjemahan yang bahkan dapat dimengerti oleh ”seorang bocah
yang menarik bajak”.1 Namun untuk mencapainya, ia harus melarikan
diri ke Jerman, di sanalah ”Perjanjian Baru” yang ia terjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dicetak pada tahun 1526. Sewaktu salinan-salinan diselundupkan
ke Inggris, kalangan berwenang begitu marah sehingga mereka mulai membakarnya
di hadapan umum. Tyndale belakangan dikhianati. Tepat sebelum ia dicekik dan
tubuhnya dibakar, ia mengucapkan kata-kata ini dengan suara yang nyaring,
”Tuhan, bukalah mata Raja Inggris!”2
Penerjemahan Alkitab terus berlanjut; para penerjemah tidak
dapat dihentikan. Pada tahun 1800, setidaknya bagian-bagian dari Alkitab telah ”belajar
berbicara” 68 bahasa. Kemudian, dengan didirikannya Lembaga-Lembaga
Alkitab—khususnya Lembaga Alkitab Inggris dan Asing, yang didirikan pada tahun
1804—Alkitab dengan cepat ”belajar” bahkan lebih banyak bahasa baru. Ratusan
pemuda merelakan diri untuk pergi ke negeri-negeri asing sebagai misionaris,
banyak dengan tujuan utama untuk menerjemahkan Alkitab.
Mempelajari Bahasa-Bahasa Afrika
Pada tahun 1800, hanya terdapat sekitar dua belas bahasa tulisan
di Afrika. Ratusan bahasa lisan lain harus menunggu sampai ada yang
menciptakan sistem abjadnya. Para misionaris datang dan mempelajari
bahasa-bahasa itu, tanpa bantuan dari buku pembimbing atau kamus. Mereka
kemudian bekerja keras untuk mengembangkan suatu bentuk penulisan, dan setelah
itu mereka mengajar orang-orang bagaimana membaca abjadnya. Ini mereka lakukan
agar kelak orang-orang dapat membaca Alkitab dalam bahasa mereka sendiri.3
Salah seorang dari para misionaris ini adalah Robert Moffat
dari Skotlandia. Pada tahun 1821, di usia 25 tahun, Moffat memulai sebuah misi
di antara orang-orang berbahasa Tswana dari Afrika sebelah selatan. Untuk
mempelajari bahasa mereka yang tidak tertulis, ia berbaur dengan orang-orang
ini, kadang-kadang ia membuat perjalanan ke daerah pedalaman untuk tinggal
bersama mereka. ”Masyarakat di sini sangat baik,” ia belakangan menulis, ”dan
kesalahan-kesalahan saya dalam mengucapkan bahasa mereka mengundang tawa banyak
orang. Tidak pernah, satu kali pun, ada orang yang dapat mengoreksi sepatah
kata atau kalimat saya, kecuali dengan cara meniru ucapan-ucapan saya dengan
begitu persis, sehingga hal itu membuat orang-orang lain tertawa.”4
Moffat bertekun dan pada akhirnya menguasai bahasa tersebut, mengembangkan
sistem abjad untuk bahasa itu.
Pada tahun 1829, setelah bekerja selama delapan tahun di
antara orang-orang Tswana, Moffat selesai menerjemahkan Injil Lukas. Untuk
mencetaknya, ia mengadakan perjalanan sekitar 960 kilometer menggunakan pedati
yang ditarik seekor sapi ke pantai dan kemudian naik kapal ke Cape Town. Di sana
gubernur memberinya izin untuk menggunakan mesin cetak pemerintah, namun Moffat
harus menyusun huruf-hurufnya dan mencetaknya sendiri, dan pada akhirnya,
menerbitkan Injil ini pada tahun 1830. Untuk pertama kali, orang-orang Tswana
dapat membaca salah satu bagian dari Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. Pada
tahun 1857, Moffat selesai menerjemahkan Alkitab secara keseluruhan ke dalam
bahasa Tswana.
Belakangan Moffat menggambarkan reaksi dari orang Tswana
sewaktu Injil Lukas pertama kali tersedia bagi mereka. Ia menulis, ”Saya telah
mengenal orang-orang yang menempuh ratusan kilometer untuk memperoleh salinan
St. Lukas. . . . Saya telah melihat mereka menerima
bagian-bagian dari buku St. Lukas, dengan penuh haru, serta memeluknya,
dan mencucurkan air mata syukur, sampai saya harus berkata kepada lebih dari
satu orang, ’Anda akan merusak buku Anda dengan air mata Anda.’”5
Dengan demikian, para penerjemah yang setia seperti Moffat
memberikan kepada banyak orang Afrika—yang beberapa di antaranya tidak merasa
membutuhkan bahasa tulisan—kesempatan pertama untuk berkomunikasi dalam
tulisan. Namun, para penerjemah bahkan memberikan kepada orang-orang Afrika
suatu pemberian yang lebih bernilai—Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. Dewasa
ini, Alkitab, seluruhnya atau sebagian, ”berbicara” dalam lebih dari 600 bahasa
Afrika.
Mempelajari Bahasa-Bahasa Asia
Seraya para penerjemah di Afrika berjuang untuk
mengembangkan sistem abjad bagi bahasa-bahasa lisan, di bagian lain dari dunia,
para penerjemah lain menghadapi banyak rintangan yang berbeda—menerjemahkan ke
dalam bahasa-bahasa yang telah memiliki abjad yang rumit. Itulah tantangan yang
dihadapi pihak-pihak yang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa Asia.
Pada permulaan abad ke-19, William Carey dan Joshua Marshman
pergi ke India dan menguasai banyak bahasa tulisannya. Dengan bantuan seorang
juru cetak, bernama William Ward, mereka berhasil menerjemahkan setidaknya
bagian-bagian Alkitab dalam hampir 40 bahasa.6 Tentang William
Carey, pengarang J. Herbert Kane menjelaskan, ”Ia merancang sebuah gaya
percakapan yang bagus dan lancar [dari bahasa Bengali] menggantikan bentuk tua
yang klasik, dengan demikian membuatnya lebih dapat dipahami dan menarik bagi
para pembaca modern.”7
Adoniram Judson, yang lahir dan dibesarkan di Amerika
Serikat, mengadakan perjalanan ke Burma, dan pada tahun 1817, ia mulai menerjemahkan
Alkitab ke dalam bahasa Burma. Ketika menggambarkan sulitnya menguasai bahasa
Timur sampai ke taraf yang memadai untuk dapat menerjemahkan Alkitab, ia
menulis, ’Sewaktu kami mempelajari sebuah bahasa yang digunakan orang-orang di
belahan bumi lainnya, yang cara berpikirnya berbeda dari kita, dan yang pola
linguistiknya sama sekali baru, juga huruf serta kata-katanya sama sekali tidak
ada miripnya dengan bahasa mana pun yang pernah kami ketahui; sewaktu kami
tidak punya kamus atau juru bahasa, dan harus sebisa-bisanya menggunakan bahasa
itu sebelum kami dapat memperoleh bantuan dari guru setempat—itu berarti
kerja keras!’8
Dalam kasus Judson, itu berarti bekerja sangat keras selama
sekitar 18 tahun. Bagian terakhir dari Alkitab Burma dicetak pada tahun 1835.
Akan tetapi, semasa tinggal di Burma, ia mengalami banyak penderitaan. Sewaktu
ia sedang menggarap terjemahannya, ia dituduh sebagai mata-mata dan oleh karena
itu mendekam sekitar dua tahun dalam penjara yang penuh nyamuk. Tidak lama
setelah ia dibebaskan, istrinya dan putrinya yang masih kecil meninggal karena
demam.
Sewaktu Robert Morrison yang berusia 25 tahun tiba di Cina
pada tahun 1807, ia melakukan pekerjaan yang luar biasa sulit untuk
menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Cina, salah satu dari bahasa tulisan yang
paling pelik. Ia hanya memiliki pengetahuan bahasa Cina yang terbatas, yang
baru ia pelajari dua tahun berselang. Morrison juga harus menghadapi
undang-undang Cina, yang berupaya untuk mempertahankan ketertutupan Cina.
Orang-orang Cina dilarang, dengan ancaman hukuman mati, untuk mengajarkan
bahasa kepada orang-orang asing. Bagi seorang asing, menerjemahkan Alkitab ke
dalam bahasa Cina merupakan pelanggaran dengan ancaman hukuman mati.
Tanpa gentar namun berhati-hati, Morrison terus mempelajari
bahasa tersebut, dan menguasainya dengan cepat. Dalam waktu dua tahun, ia
mendapat pekerjaan sebagai penerjemah bagi East India Company. Sepanjang hari,
ia bekerja bagi perusahaan tersebut, namun secara tersembunyi dan dengan risiko
tertangkap basah, ia terus menerjemahkan Alkitab. Pada tahun 1814, tujuh tahun
setelah ia tiba di Cina, Kitab-Kitab Yunani Kristen hasil terjemahannya siap
untuk dicetak.9 Lima tahun kemudian, dengan bantuan William Milne,
ia merampungkan Kitab-Kitab Ibrani.
Benar-benar prestasi yang luar biasa—Alkitab kini dapat
”berbicara” dalam bahasa yang jumlah penggunanya paling banyak dibandingkan
dengan bahasa lain mana pun di dunia. Berkat para penerjemah yang cakap,
terjemahan ke dalam bahasa-bahasa Asia lainnya menyusul. Dewasa ini,
bagian-bagian dari Alkitab tersedia dalam lebih dari 500 bahasa Asia.
Mengapa pria-pria seperti Tyndale, Moffat, Judson, dan
Morrison bekerja keras selama bertahun-tahun—ada yang bahkan bertaruh
nyawa—untuk menerjemahkan sebuah buku bagi orang-orang yang tidak mereka kenal
dan, dalam beberapa kasus, bagi orang-orang yang tidak memiliki bahasa tulisan?
Tentu saja bukan demi kemuliaan atau keuntungan finansial. Mereka percaya bahwa
Alkitab adalah Firman Allah dan bahwa Alkitab seharusnya ”berbicara” kepada
orang-orang—semua orang—dalam bahasa mereka sendiri.
Tidak soal apakah saudara merasa bahwa Alkitab adalah Firman
Allah atau bukan, mungkin saudara akan setuju bahwa jenis semangat rela
berkorban yang dipertunjukkan oleh para penerjemah yang setia tersebut sangat
langka dalam dunia dewasa ini. Bukankah buku yang menggugah sifat tidak
mementingkan diri demikian layak diselidiki?
[Tabel di hlm. 12]
(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)
Jumlah bahasa yang ke dalamnya bagian-bagian dari Alkitab
telah dicetak sejak tahun 1800
68 107 171
269 367 522
729 971 1.199
1.762 2.123
1800
1900 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar