Jumat, 20 September 2013

Buku yang Paling Banyak Disiarkan di Dunia--Alkitab bab 3




”Alkitab adalah buku yang paling banyak dibaca sepanjang sejarah. . . . Lebih banyak eksemplar yang telah tersiar dibandingkan dengan buku lain mana pun. Alkitab juga lebih sering diterjemahkan, dan ke dalam lebih banyak bahasa, daripada buku lain mana pun.”—”The World Book Encyclopedia.”1

DALAM beberapa hal, kebanyakan buku ada kemiripannya dengan manusia. Mereka muncul, mungkin semakin populer, dan—kecuali untuk segelintir karya sastra klasik—menjadi tua dan mati. Perpustakaan sering kali menjadi seperti kuburan bagi banyak sekali buku yang ketinggalan zaman, tidak pernah dibaca dan, pada dasarnya, mati.

Akan tetapi, Alkitab memang luar biasa bahkan di antara karya-karya klasik. Meskipun penulisannya dimulai 3.500 tahun yang lalu, Alkitab masih sangat segar. Sejauh ini, Alkitablah buku yang paling banyak peredarannya di bumi. Setiap tahun, sekitar 60 juta eksemplar dari seluruh Alkitab atau bagian-bagiannya tersiar. Edisi pertama dalam bentuk buku cetakan dihasilkan oleh mesin cetak Johannes Gutenberg dari Jerman sekitar tahun 1455. Sejak itu, diperkirakan empat miliar Alkitab (seluruhnya atau sebagian) telah dicetak. Tidak ada buku lain, yang bersifat agama atau nonagama, yang bahkan dapat menyamainya.


Alkitab juga buku yang paling banyak diterjemahkan sepanjang sejarah. Alkitab yang lengkap maupun bagian-bagian darinya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 2.100 bahasa dan dialek. Lebih dari 90 persen keluarga manusia dapat membaca setidaknya sebagian dari Alkitab dalam bahasa mereka sendiri.2 Buku ini telah menyeberangi batas-batas nasional dan menaklukkan perintang-perintang ras dan etnik.

Statistik saja mungkin belum dapat memberikan alasan yang mendesak bagi saudara untuk menyelidiki Alkitab. Meskipun demikian, angka sirkulasi dan penerjemahannya sangat mengesankan, menunjukkan daya tarik Alkitab yang bersifat universal. Tentu, buku terlaris dan terbanyak diterjemahkan sepanjang sejarah manusia layak saudara pertimbangkan.

[Catatan Kaki]

Menurut anggapan, publikasi berikutnya yang paling banyak tersiar adalah buku kecil bersampul merah Quotations From the Works of Mao Tse-tung, yang kira-kira 800 juta eksemplarnya telah terjual atau tersiar.

Statistik sehubungan dengan jumlah bahasa berdasarkan angka yang diterbitkan oleh United Bible Societies.

[Gambar di hlm. 6]

Alkitab Gutenberg, dalam bahasa Latin, dalam bentuk buku cetakan lengkap pertama






Bagaimana Buku Ini Dapat Tetap Bertahan?

Tulisan-tulisan kuno mempunyai musuh-musuh alam—api, udara lembap, dan jamur. Alkitab tidak kebal terhadap bahaya-bahaya demikian. Prestasi Alkitab, yang mampu bertahan melewati ganasnya waktu sampai menjadi buku yang paling mudah diperoleh, sangat luar biasa dari antara tulisan-tulisan kuno. Riwayatnya pantas diberi perhatian serius.

PARA penulis Alkitab menggoreskan kata-kata mereka bukannya di atas batu; bukan pula di lempeng-lempeng tanah liat yang tahan lama. Mereka rupanya menuliskan kata-kata mereka di atas bahan-bahan yang tidak tahan lama—papirus (terbuat dari sejenis tanaman di Mesir dengan nama yang sama) dan perkamen (terbuat dari kulit binatang).

Apa yang terjadi dengan tulisan-tulisan yang asli? Itu bisa jadi telah hancur berkeping-keping lama berselang, kebanyakan di Israel purba. Sarjana Oscar Paret menjelaskan, ”Kedua macam alat tulis ini [papirus dan perkamen] sama-sama mudah dirusak oleh kelembapan, jamur, dan berbagai jenis belatung. Kita tahu dari pengalaman sehari-hari betapa mudahnya kertas, bahkan kulit yang kuat, menjadi rusak di udara terbuka atau dalam ruangan yang lembap.”1

Jika tulisan aslinya sudah tidak ada lagi, bagaimana kata-kata dari para penulis Alkitab dapat tetap bertahan sampai ke zaman kita?

Dipelihara Oleh Para Penyalin yang Sangat Teliti

Segera setelah yang asli ditulis, salinan-salinan tulisan tangan mulai dihasilkan. Menyalin Alkitab sebenarnya menjadi suatu profesi pada zaman Israel purba. (Ezra 7:6; Mazmur 45:2) Namun, salinan-salinan ini juga ditulis di atas bahan-bahan yang tidak tahan lama. Akhirnya, ini digantikan oleh salinan-salinan tulisan tangan lainnya. Sewaktu yang asli berlalu dari peredaran, salinan-salinan ini menjadi dasar untuk manuskrip-manuskrip berikutnya. Menyalin salinan-salinan merupakan suatu proses yang berlangsung selama berabad-abad. Apakah kesalahan-kesalahan para penyalin selama berabad-abad secara drastis mengubah naskah Alkitab? Bukti-bukti mengatakan tidak.

Para penyalin profesional benar-benar setia. Mereka memiliki rasa hormat yang teramat dalam terhadap kata-kata yang mereka salin. Mereka juga sangat teliti. Kata Ibrani yang diterjemahkan ”penyalin” adalah so·pher′, yang merujuk kepada menghitung dan mencatat. Untuk mengilustrasikan kesaksamaan dari para penyalin, perhatikanlah kaum Masoret. Tentang mereka, sarjana Thomas Hartwell Horne menjelaskan, ”Mereka . . . memperhitungkan mana yang menjadi huruf tengah dari Pentateuch [lima buku pertama dari Alkitab], mana yang menjadi anak kalimat (klausa) yang terdapat di tengah-tengah dari setiap buku, dan berapa kali setiap huruf dalam abjad [Ibrani] muncul dalam seluruh Kitab-Kitab Ibrani.”3

Oleh karena itu, para penyalin yang terampil menggunakan sejumlah metode pengecekan silang. Agar jangan sampai menghilangkan satu huruf pun dari naskah Alkitab, mereka bahkan sampai menghitung bukan hanya kata-kata yang mereka salin, namun juga huruf-hurufnya. Pertimbangkan kepedulian yang sungguh-sungguh dalam pekerjaan ini: Mereka dilaporkan membuat catatan dari total 815.140 huruf dalam Kitab-Kitab Ibrani!4 Upaya yang rajin seperti ini menjamin suatu taraf kesaksamaan yang tinggi.

Meskipun demikian, para penyalin bukannya tidak dapat membuat kesalahan. Apakah ada bukti bahwa, meskipun adanya penyalinan ulang selama berabad-abad, naskah Alkitab tetap bertahan dalam bentuk yang dapat diandalkan?

Sebuah Dasar yang Kokoh untuk Yakin

Terdapat alasan kuat untuk percaya bahwa Alkitab telah dengan saksama ditransmisikan hingga ke zaman kita. Bukti-buktinya terdiri dari manuskrip-manuskrip tulisan tangan yang masih ada—diperkirakan terdapat 6.000 manuskrip dari seluruh atau sebagian Kitab-Kitab Ibrani dan sekitar 5.000 manuskrip dari Kitab-Kitab Kristen berbahasa Yunani. Dari antaranya terdapat manuskrip Kitab-Kitab Ibrani yang ditemukan pada tahun 1947 yang menunjukkan betapa akurat penyalinan Kitab-Kitab tersebut. Sejak itu, penemuan ini dijuluki sebagai ”penemuan manuskrip terhebat pada zaman modern”.5

Sewaktu sedang menggembalakan kawanan ternaknya pada permulaan tahun itu, seorang anak gembala Badui menemukan sebuah gua di dekat Laut Mati. Di dalamnya, ia menemukan sejumlah tempayan tembikar, kebanyakan dari antaranya kosong. Akan tetapi, dalam salah satu tempayan, yang ditutup rapat, ia menemukan sebuah gulungan kulit yang dengan cermat dibungkus dalam kain linen dan berisi salah satu buku Alkitab, Yesaya, secara lengkap. Meskipun telah usang, gulungan yang masih terpelihara baik ini, memperlihatkan tanda-tanda pernah diperbaiki. Gembala muda ini tidak menyangka sedikit pun bahwa gulungan kuno yang ia pegang akhirnya akan mendapat perhatian seluas dunia.

Apa arti penting dari manuskrip ini? Pada tahun 1947, manuskrip Ibrani lengkap tertua yang telah ditemukan berasal dari kira-kira abad kesepuluh M. Namun gulungan ini berasal dari abad kedua SM—selisih usianya lebih dari seribu tahun. Para sarjana sangat berminat untuk mengetahui hasil perbandingan gulungan ini dengan manuskrip-manuskrip yang dihasilkan berabad-abad kemudian.

Dalam suatu penelitian, para sarjana membandingkan pasal ke-53 dari Yesaya dalam Gulungan Laut Mati dengan naskah Masoret yang dihasilkan seribu tahun kemudian. Buku A General Introduction to the Bible, menjelaskan hasil penelitian ini, ”Dari ke-166 kata dalam Yesaya 53, hanya terdapat tujuh belas huruf yang dipertanyakan. Sepuluh dari antara huruf-huruf ini hanya soal pengejaan, yang tidak mempengaruhi artinya. Empat huruf lagi adalah perubahan kecil dalam hal gaya, seperti kata sambung. Ketiga huruf selebihnya terdiri dari kata ’terang’, yang ditambahkan dalam ayat 11, dan tidak banyak mempengaruhi artinya. . . . Maka, dalam satu pasal dari 166 kata, hanya ada satu kata (tiga huruf) yang dipertanyakan setelah ribuan tahun pentransmisian—dan kata ini tidak banyak mengubah makna ayat itu.”7

Profesor Millar Burrows, yang meneliti gulungan ini selama bertahun-tahun, menganalisis isinya, kemudian mengambil kesimpulan yang sama, ”Banyak perbedaan yang terdapat antara . . . gulungan Yesaya dan naskah salinan kaum Masoret dapat dijelaskan sebagai kesalahan penyalinan. Di luar itu, ada persamaan yang menakjubkan, secara menyeluruh, dengan naskah yang terdapat dalam manuskrip-manuskrip abad pertengahan. Persamaan demikian dalam manuskrip yang jauh lebih tua memberikan bukti yang meyakinkan bahwa naskah tradisional itu secara umum memang saksama.”8

”Bukti yang meyakinkan” dapat juga diberikan mengenai penyalinan Kitab-Kitab Yunani Kristen. Misalnya, penemuan Kodeks Sinaitikus pada abad ke-19, sebuah manuskrip vellum (kulit binatang yang disamak) yang berasal dari abad keempat M, turut meneguhkan kesaksamaan manuskrip-manuskrip dari Kitab-Kitab Yunani Kristen yang dihasilkan berabad-abad kemudian. Sebuah fragmen papirus dari Injil Yohanes, yang ditemukan di distrik Faiyūm, Mesir, berasal dari lima puluh tahun pertama abad kedua M, kurang dari 50 tahun setelah naskah aslinya ditulis. Ini telah terpelihara selama berabad-abad di pasir kering. Naskahnya sesuai dengan naskah yang ditemukan dalam manuskrip-manuskrip yang belakangan.9

Oleh karena itu, bukti-bukti meneguhkan bahwa sesungguhnya para penyalin sangat saksama. Meskipun demikian, mereka memang membuat kesalahan. Tidak ada manuskrip yang tanpa cacat—Gulungan Laut Mati Yesaya juga tidak terkecuali. Sekalipun demikian, para sarjana telah dapat mendeteksi dan mengoreksi perbedaan-perbedaannya dari yang asli.

Mengoreksi Kesalahan Para Penyalin

Misalnya 100 orang diminta untuk membuat sebuah salinan tulisan tangan dari sebuah dokumen yang panjang. Tidak diragukan, setidaknya beberapa dari para penyalin akan membuat kesalahan. Akan tetapi, mereka tidak mungkin membuat jenis kesalahan yang sama. Jika saudara mengambil ke-100 salinan itu dan membandingkannya dengan sangat cermat, saudara akan dapat menemukan kesalahannya dan menentukan naskah yang persis seperti dokumen aslinya, sekalipun saudara belum pernah melihat dokumen tersebut.

Demikian pula, para penyalin Alkitab tidak membuat jenis kesalahan yang sama. Dengan ribuan manuskrip Alkitab yang sekarang tersedia untuk analisis perbandingan, para sarjana pernaskahan telah dapat menemukan kesalahan-kesalahan, menentukan teks aslinya, dan mencatat koreksi yang dibutuhkan. Sebagai hasil dari penelitian yang cermat demikian, para sarjana pernaskahan telah menghasilkan naskah-naskah induk dalam bahasa-bahasa aslinya. Edisi-edisi revisi dari naskah-naskah Ibrani dan Yunani ini menggunakan kata-kata yang paling umum yang diakui keasliannya, sering kali catatan kakinya memuat variasi atau alternatif pengejaan yang mungkin muncul dalam manuskrip tertentu. Edisi-edisi revisi dari para sarjana pernaskahan inilah yang digunakan oleh para penerjemah Alkitab untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa modern.

Maka sewaktu saudara membaca sebuah terjemahan Alkitab modern, ada cukup banyak alasan untuk yakin bahwa naskah Ibrani dan Yunani, yang dijadikan dasar penerjemahan, menyajikan dengan sangat saksama kata-kata dari para penulis asli Alkitab. Prestasi Alkitab, yang sanggup bertahan selama ribuan tahun melalui penyalinan ulang dengan tangan, benar-benar luar biasa. Sir Frederic Kenyon, kurator kawakan dari British Museum, dengan demikian dapat mengatakan, ”Tidaklah berlebihan untuk menegaskan bahwa pada hakekatnya naskah Alkitab dapat dipastikan keasliannya . . . Pernyataan serupa tidak dapat diberikan untuk buku kuno lain mana pun di dunia ini.”10

[Catatan Kaki]

Kaum Masoret (yang berarti ”Pakar Tradisi”) adalah para penyalin dari Kitab-Kitab Ibrani yang hidup antara abad keenam dan kesepuluh M. Salinan-salinan manuskrip yang mereka hasilkan disebut sebagai teks Masoret.2

SM berarti ”Sebelum Masehi”. M berarti ”Masehi”, sering kali disebut AD, untuk Anno Domini, yang berarti ”pada tahun Tuhan kita”.

Textual Criticism of the Hebrew Bible, oleh Emanuel Tov, menyatakan, ”Dengan bantuan uji karbon 14, 1QIsaa [Gulungan Laut Mati Yesaya] kini berasal antara tahun 202 dan 107 SM (tanggal paleografisnya: 125-100 SM) . . . Metode paleografis yang disebutkan, yang telah dikembangkan pada tahun-tahun belakangan ini, dan yang memungkinkan penentuan penanggalan absolut berdasarkan perbandingan bentuk dan posisi dari huruf-huruf dengan sumber-sumber eksternal seperti mata uang dan inskripsi bertanggal, telah terbukti sebagai metode yang cukup dapat diandalkan.”6

Tentu saja, para penerjemah secara individu bisa saja kaku atau longgar dalam keterpautan mereka kepada naskah-naskah asli Ibrani dan Yunani.

[Gambar di hlm. 8]

Alkitab dipelihara oleh para penyalin yang terampil

[Gambar di hlm. 9]

Gulungan Laut Mati Yesaya (tampak reproduksinya) praktis sama dengan naskah Masoret yang dihasilkan ribuan tahun berselang








Buku yang ”Berbicara” dalam Bahasa yang Hidup

Jika bahasa yang digunakan dalam penulisan sebuah buku telah mati, buku tersebut akan mati bersamanya. Dewasa ini, tidak banyak orang dapat membaca bahasa-bahasa kuno yang digunakan dalam penulisan Alkitab. Namun Alkitab masih tetap hidup. Ia masih bertahan karena telah ”belajar berbicara” dalam bahasa yang hidup yang digunakan umat manusia. Para penerjemah yang ”mengajar”nya untuk berbicara dalam bahasa-bahasa lain adakalanya menghadapi rintangan-rintangan yang tampaknya tidak tertanggulangi.

MENERJEMAHKAN Alkitab—dengan lebih dari 1.100 pasal dan 31.000 ayatnya—merupakan pekerjaan yang sangat berat. Akan tetapi, selama berabad-abad, para penerjemah yang setia dengan senang hati menyambut tantangan ini. Kebanyakan dari mereka rela menderita kesukaran dan bahkan mati demi pekerjaan mereka. Sejarah tentang bagaimana Alkitab sampai diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa umat manusia menjadi suatu kisah yang luar biasa tentang ketekunan dan kecerdikan. Perhatikanlah sebagian kecil dari riwayatnya yang menarik.

Tantangan-Tantangan yang Dihadapi Para Penerjemah

Bagaimana caranya saudara menerjemahkan sebuah buku ke dalam suatu bahasa yang belum memiliki abjad? Banyak penerjemah Alkitab menghadapi tantangan semacam itu. Misalnya, Ulfilas, dari abad keempat M, mulai menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa yang saat itu merupakan bahasa modern namun tidak tertulis—bahasa Gotik. Ulfilas menanggulangi tantangan ini dengan merancang abjad Gotik yang terdiri dari 27 karakter, yang terutama didasarkan pada abjad Yunani dan Latin. Terjemahannya yang meliputi hampir seluruh Alkitab ke dalam bahasa Gotik diselesaikan sebelum tahun 381 M.

Pada abad kesembilan, dua kakak-beradik yang berbahasa Yunani, Cyril (pada mulanya bernama Konstantin) dan Methodius, keduanya sarjana dan ahli linguistik terkemuka, ingin menerjemahkan Alkitab untuk orang-orang berbahasa Slavia. Namun Slavonic—pelopor dari bahasa Slavia zaman sekarang—belum memiliki abjad. Maka kakak-beradik ini menciptakan abjad dengan tujuan menghasilkan suatu terjemahan Alkitab. Itu sebabnya Alkitab kini dapat ”berbicara” kepada lebih banyak orang, termasuk orang-orang di kawasan Slavia.

Pada abad ke-16, William Tyndale mulai menerjemahkan Alkitab dari bahasa-bahasa asli ke dalam bahasa Inggris, namun ia menghadapi tentangan sengit dari Gereja dan Negara. Tyndale, yang dididik di Oxford, ingin menghasilkan suatu terjemahan yang bahkan dapat dimengerti oleh ”seorang bocah yang menarik bajak”.1 Namun untuk mencapainya, ia harus melarikan diri ke Jerman, di sanalah ”Perjanjian Baru” yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Inggris dicetak pada tahun 1526. Sewaktu salinan-salinan diselundupkan ke Inggris, kalangan berwenang begitu marah sehingga mereka mulai membakarnya di hadapan umum. Tyndale belakangan dikhianati. Tepat sebelum ia dicekik dan tubuhnya dibakar, ia mengucapkan kata-kata ini dengan suara yang nyaring, ”Tuhan, bukalah mata Raja Inggris!”2

Penerjemahan Alkitab terus berlanjut; para penerjemah tidak dapat dihentikan. Pada tahun 1800, setidaknya bagian-bagian dari Alkitab telah ”belajar berbicara” 68 bahasa. Kemudian, dengan didirikannya Lembaga-Lembaga Alkitab—khususnya Lembaga Alkitab Inggris dan Asing, yang didirikan pada tahun 1804—Alkitab dengan cepat ”belajar” bahkan lebih banyak bahasa baru. Ratusan pemuda merelakan diri untuk pergi ke negeri-negeri asing sebagai misionaris, banyak dengan tujuan utama untuk menerjemahkan Alkitab.

Mempelajari Bahasa-Bahasa Afrika

Pada tahun 1800, hanya terdapat sekitar dua belas bahasa tulisan di Afrika. Ratusan bahasa lisan lain harus menunggu sampai ada yang menciptakan sistem abjadnya. Para misionaris datang dan mempelajari bahasa-bahasa itu, tanpa bantuan dari buku pembimbing atau kamus. Mereka kemudian bekerja keras untuk mengembangkan suatu bentuk penulisan, dan setelah itu mereka mengajar orang-orang bagaimana membaca abjadnya. Ini mereka lakukan agar kelak orang-orang dapat membaca Alkitab dalam bahasa mereka sendiri.3

Salah seorang dari para misionaris ini adalah Robert Moffat dari Skotlandia. Pada tahun 1821, di usia 25 tahun, Moffat memulai sebuah misi di antara orang-orang berbahasa Tswana dari Afrika sebelah selatan. Untuk mempelajari bahasa mereka yang tidak tertulis, ia berbaur dengan orang-orang ini, kadang-kadang ia membuat perjalanan ke daerah pedalaman untuk tinggal bersama mereka. ”Masyarakat di sini sangat baik,” ia belakangan menulis, ”dan kesalahan-kesalahan saya dalam mengucapkan bahasa mereka mengundang tawa banyak orang. Tidak pernah, satu kali pun, ada orang yang dapat mengoreksi sepatah kata atau kalimat saya, kecuali dengan cara meniru ucapan-ucapan saya dengan begitu persis, sehingga hal itu membuat orang-orang lain tertawa.”4 Moffat bertekun dan pada akhirnya menguasai bahasa tersebut, mengembangkan sistem abjad untuk bahasa itu.

Pada tahun 1829, setelah bekerja selama delapan tahun di antara orang-orang Tswana, Moffat selesai menerjemahkan Injil Lukas. Untuk mencetaknya, ia mengadakan perjalanan sekitar 960 kilometer menggunakan pedati yang ditarik seekor sapi ke pantai dan kemudian naik kapal ke Cape Town. Di sana gubernur memberinya izin untuk menggunakan mesin cetak pemerintah, namun Moffat harus menyusun huruf-hurufnya dan mencetaknya sendiri, dan pada akhirnya, menerbitkan Injil ini pada tahun 1830. Untuk pertama kali, orang-orang Tswana dapat membaca salah satu bagian dari Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. Pada tahun 1857, Moffat selesai menerjemahkan Alkitab secara keseluruhan ke dalam bahasa Tswana.

Belakangan Moffat menggambarkan reaksi dari orang Tswana sewaktu Injil Lukas pertama kali tersedia bagi mereka. Ia menulis, ”Saya telah mengenal orang-orang yang menempuh ratusan kilometer untuk memperoleh salinan St. Lukas. . . . Saya telah melihat mereka menerima bagian-bagian dari buku St. Lukas, dengan penuh haru, serta memeluknya, dan mencucurkan air mata syukur, sampai saya harus berkata kepada lebih dari satu orang, ’Anda akan merusak buku Anda dengan air mata Anda.’”5

Dengan demikian, para penerjemah yang setia seperti Moffat memberikan kepada banyak orang Afrika—yang beberapa di antaranya tidak merasa membutuhkan bahasa tulisan—kesempatan pertama untuk berkomunikasi dalam tulisan. Namun, para penerjemah bahkan memberikan kepada orang-orang Afrika suatu pemberian yang lebih bernilai—Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. Dewasa ini, Alkitab, seluruhnya atau sebagian, ”berbicara” dalam lebih dari 600 bahasa Afrika.

Mempelajari Bahasa-Bahasa Asia

Seraya para penerjemah di Afrika berjuang untuk mengembangkan sistem abjad bagi bahasa-bahasa lisan, di bagian lain dari dunia, para penerjemah lain menghadapi banyak rintangan yang berbeda—menerjemahkan ke dalam bahasa-bahasa yang telah memiliki abjad yang rumit. Itulah tantangan yang dihadapi pihak-pihak yang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa Asia.

Pada permulaan abad ke-19, William Carey dan Joshua Marshman pergi ke India dan menguasai banyak bahasa tulisannya. Dengan bantuan seorang juru cetak, bernama William Ward, mereka berhasil menerjemahkan setidaknya bagian-bagian Alkitab dalam hampir 40 bahasa.6 Tentang William Carey, pengarang J. Herbert Kane menjelaskan, ”Ia merancang sebuah gaya percakapan yang bagus dan lancar [dari bahasa Bengali] menggantikan bentuk tua yang klasik, dengan demikian membuatnya lebih dapat dipahami dan menarik bagi para pembaca modern.”7

Adoniram Judson, yang lahir dan dibesarkan di Amerika Serikat, mengadakan perjalanan ke Burma, dan pada tahun 1817, ia mulai menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Burma. Ketika menggambarkan sulitnya menguasai bahasa Timur sampai ke taraf yang memadai untuk dapat menerjemahkan Alkitab, ia menulis, ’Sewaktu kami mempelajari sebuah bahasa yang digunakan orang-orang di belahan bumi lainnya, yang cara berpikirnya berbeda dari kita, dan yang pola linguistiknya sama sekali baru, juga huruf serta kata-katanya sama sekali tidak ada miripnya dengan bahasa mana pun yang pernah kami ketahui; sewaktu kami tidak punya kamus atau juru bahasa, dan harus sebisa-bisanya menggunakan bahasa itu sebelum kami dapat memperoleh bantuan dari guru setempat—itu berarti kerja keras!’8

Dalam kasus Judson, itu berarti bekerja sangat keras selama sekitar 18 tahun. Bagian terakhir dari Alkitab Burma dicetak pada tahun 1835. Akan tetapi, semasa tinggal di Burma, ia mengalami banyak penderitaan. Sewaktu ia sedang menggarap terjemahannya, ia dituduh sebagai mata-mata dan oleh karena itu mendekam sekitar dua tahun dalam penjara yang penuh nyamuk. Tidak lama setelah ia dibebaskan, istrinya dan putrinya yang masih kecil meninggal karena demam.

Sewaktu Robert Morrison yang berusia 25 tahun tiba di Cina pada tahun 1807, ia melakukan pekerjaan yang luar biasa sulit untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Cina, salah satu dari bahasa tulisan yang paling pelik. Ia hanya memiliki pengetahuan bahasa Cina yang terbatas, yang baru ia pelajari dua tahun berselang. Morrison juga harus menghadapi undang-undang Cina, yang berupaya untuk mempertahankan ketertutupan Cina. Orang-orang Cina dilarang, dengan ancaman hukuman mati, untuk mengajarkan bahasa kepada orang-orang asing. Bagi seorang asing, menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Cina merupakan pelanggaran dengan ancaman hukuman mati.

Tanpa gentar namun berhati-hati, Morrison terus mempelajari bahasa tersebut, dan menguasainya dengan cepat. Dalam waktu dua tahun, ia mendapat pekerjaan sebagai penerjemah bagi East India Company. Sepanjang hari, ia bekerja bagi perusahaan tersebut, namun secara tersembunyi dan dengan risiko tertangkap basah, ia terus menerjemahkan Alkitab. Pada tahun 1814, tujuh tahun setelah ia tiba di Cina, Kitab-Kitab Yunani Kristen hasil terjemahannya siap untuk dicetak.9 Lima tahun kemudian, dengan bantuan William Milne, ia merampungkan Kitab-Kitab Ibrani.

Benar-benar prestasi yang luar biasa—Alkitab kini dapat ”berbicara” dalam bahasa yang jumlah penggunanya paling banyak dibandingkan dengan bahasa lain mana pun di dunia. Berkat para penerjemah yang cakap, terjemahan ke dalam bahasa-bahasa Asia lainnya menyusul. Dewasa ini, bagian-bagian dari Alkitab tersedia dalam lebih dari 500 bahasa Asia.

Mengapa pria-pria seperti Tyndale, Moffat, Judson, dan Morrison bekerja keras selama bertahun-tahun—ada yang bahkan bertaruh nyawa—untuk menerjemahkan sebuah buku bagi orang-orang yang tidak mereka kenal dan, dalam beberapa kasus, bagi orang-orang yang tidak memiliki bahasa tulisan? Tentu saja bukan demi kemuliaan atau keuntungan finansial. Mereka percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah dan bahwa Alkitab seharusnya ”berbicara” kepada orang-orang—semua orang—dalam bahasa mereka sendiri.

Tidak soal apakah saudara merasa bahwa Alkitab adalah Firman Allah atau bukan, mungkin saudara akan setuju bahwa jenis semangat rela berkorban yang dipertunjukkan oleh para penerjemah yang setia tersebut sangat langka dalam dunia dewasa ini. Bukankah buku yang menggugah sifat tidak mementingkan diri demikian layak diselidiki?

[Tabel di hlm. 12]

(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)

Jumlah bahasa yang ke dalamnya bagian-bagian dari Alkitab telah dicetak sejak tahun 1800

68   107  171  269  367  522  729  971  1.199  1.762  2.123

1800                     1900                         1995

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar