Jumat, 23 Agustus 2013

Jiwa yang Tidak Berkematian—Lahirnya Doktrin Itu...bab 2


 

”Tidak ada topik sehubungan dengan kehidupan psikis yang telah sedemikian menyibukkan pikiran manusia selain daripada keadaannya setelah kematian.”—”ENCYCLOPÆDIA OF RELIGION AND ETHICS.”

SEORANG sarjana dan guru yang berusia 70 tahun dituduh berbuat tidak pantas dan merusak pikiran orang muda dengan ajarannya. Meskipun ia menyajikan pembelaan yang cemerlang di persidangannya, juri yang berat sebelah memutuskan dia bersalah dan menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Persis beberapa jam sebelum eksekusinya, guru yang sudah tua itu menyajikan kepada para pelajar yang berkumpul di sekelilingnya serangkaian argumen untuk menegaskan bahwa jiwa tidak berkematian dan bahwa kematian tidak perlu ditakuti.

2 Pria yang dihukum itu tidak lain adalah Sokrates, filsuf terkemuka asal Yunani pada abad kelima SM. Muridnya, Plato, mencatat insiden ini dalam esai Apology dan Phaedo. Sokrates dan Plato diakui termasuk di antara orang-orang pertama yang memajukan gagasan bahwa jiwa itu tidak berkematian. Tetapi mereka bukan pemrakarsa ajaran ini.

3 Sebagaimana akan kita lihat, akar dari gagasan tentang manusia yang tidak berkematian memiliki asal usul yang jauh lebih awal. Akan tetapi, Sokrates dan Plato memoles konsep tersebut dan mengubahnya menjadi ajaran filsafat, sehingga itu menjadi lebih menarik bagi golongan terpelajar pada zaman mereka dan setelahnya.

Dari Pythagoras hingga Piramida

4 Orang-orang Yunani sebelum Sokrates dan Plato juga percaya bahwa jiwa tetap hidup setelah kematian. Pythagoras, pakar matematika terkenal asal Yunani pada abad keenam SM, percaya bahwa jiwa tidak berkematian dan mengalami perpindahan. Sebelum dia, Thales dari Miletus, yang dianggap sebagai filsuf Yunani paling awal yang dikenal, merasa bahwa jiwa yang tidak berkematian bukan hanya ada di dalam manusia, binatang, dan tumbuhan tetapi juga di dalam benda-benda seperti magnet, karena magnet dapat menggerakkan besi. Orang Yunani purba menyatakan bahwa jiwa-jiwa orang mati diangkut dengan perahu menyeberangi Sungai Styx ke suatu alam luas di bawah tanah yang disebut dunia di bawah (netherworld), atau alam baka. Di sana, hakim-hakim akan memvonis jiwa-jiwa tersebut, apakah akan disiksa dalam sebuah penjara yang berdinding tinggi atau menikmati kebahagiaan sempurna di Elysium.

5 Di Iran, atau Persia, ke sebelah timur, seorang nabi bernama Zoroaster tampil pada abad ketujuh SM. Ia memperkenalkan cara beribadat yang kemudian dikenal sebagai Zoroastrianisme. Ini adalah agama dari Imperium Persia, yang menguasai pentas dunia sebelum Yunani menjadi kuasa utama. Kitab-kitab agama Zoroaster mengatakan, ”Jiwa Orang Benar Tidak Berkematian selama-lamanya dalam Sukacita, tetapi jiwa Pendusta pasti berada dalam siksaan. Dan Hukum-Hukum ini telah ditetapkan oleh Ahura Mazda [artinya, ”allah yang bijaksana”] melalui kedaulatan wewenang-Nya.”

6 Ajaran tentang jiwa yang tidak berkematian juga merupakan bagian dari agama orang Iran sebelum Zoroaster. Misalnya, suku-suku purba di Iran memperhatikan jiwa dari orang yang baru mati dengan mempersembahkan makanan dan pakaian untuk digunakan di alam baka.

7 Kepercayaan akan kehidupan setelah kematian merupakan inti dari agama orang Mesir. Orang Mesir percaya bahwa jiwa orang mati akan dihakimi oleh Osiris, dewa penguasa alam baka. Misalnya, sebuah dokumen papirus yang dinyatakan berasal dari abad ke-14 SM memperlihatkan Anubis, dewa orang mati, menuntun jiwa Hunefer, seorang penulis, ke hadapan Osiris. Pada sebuah neraca, jantung sang penulis, yang menggambarkan hati nuraninya, ditimbang dengan anak timbangan berupa bulu yang dikenakan pada kepala dewi kebenaran dan keadilan. Dewa lain yaitu Thoth mencatat hasilnya. Karena hati Hunefer tidak diberati kesalahan, beratnya lebih ringan daripada bulu tersebut, dan Hunefer diizinkan memasuki alam Osiris serta menerima peri tidak berkematian. Papirus tersebut juga memperlihatkan monster betina berdiri di samping neraca itu, yang siap melahap orang mati jika jantungnya gagal dalam ujian tersebut. Orang Mesir juga memumikan orang mati dan mengawetkan tubuh para firaun dalam piramida-piramida yang mengesankan, karena mereka berpikir bahwa keselamatan jiwa bergantung pada awetnya tubuh.

8 Jadi, beragam peradaban zaman purba mempercayai satu ajaran yang sama—jiwa yang tidak berkematian. Apakah mereka mendapat ajaran ini dari sumber yang sama?

Titik Permulaan

9 ”Di dunia purba,” kata buku The Religion of Babylonia and Assyria, ”Mesir, Persia, dan Yunani merasakan pengaruh dari agama Babilonia.” Buku ini melanjutkan penjelasannya, ”Ditinjau dari kontak masa awal antara Mesir dan Babilonia, sebagaimana disingkapkan oleh batu-batu tulis El-Amarna, pastilah terdapat banyak kesempatan untuk merembesnya pandangan dan kebiasaan Babilonia ke dalam kultus-kultus Mesir. Di Persia, kultus Mithra menyingkapkan pengaruh yang jelas-jelas berasal dari konsep Babilonia . . . Banyaknya pencampuran unsur-unsur Semit ke dalam mitologi Yunani masa awal maupun ke dalam kultus-kultus Yunani kini begitu umum diakui oleh para sarjana, sehingga tidak dibutuhkan komentar lebih lanjut. Unsur-unsur Semit ini kebanyakan lebih bersifat khas Babilonia.”

10 Tetapi, bukankah pandangan orang Babilonia mengenai apa yang terjadi setelah kematian sangat berbeda dengan pandangan orang Mesir, Persia, dan Yunani? Misalnya, perhatikan Epic of Gilgamesh dari Babilonia. Pahlawannya yang semakin tua, Gilgamesh, dihantui oleh realitas kematian, maka ia berangkat untuk mencari peri tidak berkematian tetapi gagal memperolehnya. Seorang gadis penjual arak yang ia jumpai dalam perjalanannya bahkan menganjurkan dia untuk memanfaatkan sisa hidupnya sebaik mungkin, karena ia tidak akan menemukan kehidupan tanpa akhir yang dicarinya. Pesan dari seluruh wiracarita (epik) tersebut adalah bahwa kematian tidak terelakkan dan harapan akan peri tidak berkematian adalah ilusi. Bukankah ini menunjukkan bahwa orang Babilonia tidak percaya akan kehidupan setelah kematian?

11 Profesor Morris Jastrow, Jr., dari University of Pennsylvania, AS, menulis, ”Baik rakyat maupun para pemimpin yang berpikiran religius [di Babilonia] tidak pernah mengantisipasi kemungkinan kebinasaan total dari apa yang pernah hidup. Kematian [dalam pandangan mereka] adalah jalan menuju kehidupan jenis lain, dan penyangkalan akan peri tidak berkematian hanyalah menandaskan bahwa seseorang tidak mungkin luput dari perubahan eksistensi yang didatangkan oleh kematian.” Ya, orang Babilonia juga percaya bahwa kehidupan jenis tertentu, dalam bentuk tertentu, terus hidup setelah kematian. Mereka menunjukkannya dengan menguburkan benda-benda bersama orang mati untuk digunakan dalam kehidupan setelah kematian.

12 Jelaslah, ajaran tentang jiwa yang tidak berkematian dapat ditelusuri hingga Babilon purba. Menurut Alkitab, buku yang dikenal memuat sejarah yang saksama, kota Babel, atau Babilon, didirikan oleh Nimrod, seorang cicit Nuh. Setelah Air Bah seluas dunia pada zaman Nuh, hanya ada satu bahasa dan satu agama. Dengan mendirikan kota dan membangun sebuah menara di sana, Nimrod memulai agama yang lain. Catatan Alkitab memperlihatkan bahwa setelah dikacaukannya bahasa di Babel, orang-orang yang tidak berhasil membangun menara tersebut berpencar dan memulai awal yang baru, sambil membawa agama mereka. (Kejadian 10:6-10; 11:4-9) Dengan demikian, ajaran agama yang bersifat Babilon menyebar ke seantero muka bumi.

13 Menurut kisah turun-temurun, Nimrod mati dengan cara yang mengenaskan. Setelah kematiannya, masuk akal bahwa orang Babilonia cenderung menjunjung tinggi Nimrod sebagai pendiri, pembangun, dan raja pertama kota mereka. Karena dewa Marduk (Merodakh) dianggap sebagai pendiri Babilon, beberapa sarjana menyatakan bahwa Marduk bisa jadi adalah Nimrod yang didewakan. Jika demikian halnya, maka gagasan bahwa seseorang memiliki jiwa yang terus hidup setelah kematian pastilah telah diterima luas setidak-tidaknya pada waktu kematian Nimrod. Selain itu, halaman-halaman sejarah menyingkapkan bahwa setelah Air Bah, tempat lahirnya ajaran jiwa yang tidak berkematian adalah Babel, atau Babilon.

14 Namun, bagaimana doktrin tersebut menjadi inti sebagian besar agama pada zaman kita? Bagian berikut akan memeriksa masuknya doktrin tersebut ke dalam agama-agama Timur.

[Catatan Kaki]

SM berarti ”Sebelum Masehi”. M berarti ”Masehi”, sering disebut AD, untuk Anno Domini, yang artinya ”pada tahun Tuhan”.

El-Amarna adalah lokasi puing-puing kota Akhetaton di Mesir, yang dinyatakan dibangun pada abad ke-14 SM.

Lihat buku Alkitab—Firman dari Allah Atau dari Manusia?, halaman 37-54, diterbitkan oleh Watchtower Bible and Tract Society of New York, Inc.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar