Minggu, 15 Mei 2011 - Lebih dari 20 persen ilmuan ateis bersifat spiritual,
menurut penelitian terbaru dari Universitas Rice. Walaupun masyarakat umum
menikahkan spiritualitas dengan agama, studi ini menemukan kalau spiritualitas
sesungguhnya merupakan gagasan terpisah – yang lebih dekat kesejajarannya dengan
penemuan ilmiah – bagi ilmuan “ateis spiritual.”
Penelitian ini diterbitkan dalam edisi Juni 2011
jurnal ilmiah Sociology of Religion. Lewat wawancara mendalam pada 275
ilmuan alam dan sosial di universitas-universitas terkenal, para peneliti Rice
menemukan kalau 72 dari para ilmuan tersebut mengatakan bahwa mereka memiliki
spiritualitas yang konsisten dengan sains, walaupun mereka tidak beragama secara
formal.
“Hasil kami menunjukkan kalau para ilmuan memandang agama dan spiritualitas sebagai konstruk yang berbeda secara kualitatif,” kata Elaine Howard Ecklund, asisten profesor sosiologi di Rice dan penulis perdana studi ini. “Para ilmuan ateis spiritual ini mencari makna kebenaran lewat spiritualitas – yang dibangkitkan lewat dan konsisten dengan pekerjaan mereka sebagai ilmuan.”
Sebagai contoh, para ilmuan ini memandang sains
dan spiritualitas sebagai “pembuatan makna tanpa keyakinan” dan
sebagai penaklukkan makna individual yang tidak akan pernah final. Menurut
penelitian ini, mereka melihat spiritualitas kongruen dengan sains dan terpisah
dari agama, karena penaklukkan tersebut; dimana spiritualitas terbuka dengan
perjalanan ilmiah, sementara agama memerlukan keyakinan mutlak walau dengan
“ketiadaan bukti empiris.”
“Ada spiritualitas diantara ilmuan yang paling
sekuler sekalipun,” kata Ecklund. “Spiritualitas ada dalam pemikiran ilmuan baik
yang religius maupun ateis. Hal ini menantang gagasan kalau ilmuan, dan kelompok
lain yang dipandang sekuler mengabaikan pertanyaan seperti “Mengapa saya ada di
sini?” Mereka juga memiliki pertanyaan dasar manusia ini dan ingin mencari
maknanya.”
Ecklund menulis studi ini bersama dengan Elizabeth
Long, professor dan kepala jurusan sosiologi di Rice. Dalam analisis mereka pada
275 wawancara, mereka menemukan kalau kata sifat yang paling sering digunakan
ilmuan untuk menyatakan agama mencakup “terorganisir, bermasyarakat, kesatuan
dan kolektif.” Kumpulan kata yang digunakan untuk spiritualitas mencakup
“individual, personal dan dikonstruksi secara personal.” Semua responden yang
menggunakan istilah kolektif atau individual menisbahkan istilah kolektif pada
agama dan istilah individual pada spiritualitas.
“Sementara data menunjukkan kalau spiritualitas
terutama merupakan perjuangan individual bagi ilmuan akademis, ia bukanlah
individualis dalam artian klasik yaitu membuat mereka lebih terfokus pada diri
sendiri,” kata Ecklund, direktur Program Agama dan Kehidupan Masyarakat di Rice.
“Dalam artian benda-benda, menjadi spiritual memotivasi mereka untuk membantu
orang lain dan mengarahkan kembali cara mereka memikirkan tentang dan bekerja
sebagai ilmuan.”
Ecklund dan Long mencatat kalau ilmuan spiritual
melihat batasan antara diri mereka dengan kolega non spiritualnya karena
spiritualitas mereka memfasilitasi keterlibatan dengan dunia di sekitarnya.
Keterlibatan demikian, menurut para ilmuan spiritual, membangkitkan pendekatan
berbeda pada penelitian dan pengajaran: Sementara koleganya yang nonspiritual
berfokus pada penelitian mereka sendiri dengan mengorbankan interaksi dengan
mahasiswa, para ilmuan spiritual merasa spiritualitas menyediakan alasan yang
tidak dapat dirundingkan untuk memastikan kalau mereka membantu mahasiswa yang
berjuang untuk berhasil.
Sumber:
Referensi jurnal:
E. H. Ecklund, E. Long. Scientists and
Spirituality. Sociology of Religion, 2011; DOI: 10.1093/socrel/srr003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar